13 Mar 2011

LIFE AFTER MARRIAGE

Saya belum menikah. Belum juga terpikir untuk menikah. Paling tidak untuk dalam waktu dekat. Entah untuk keberapa kalinya dalam sehari ini saya tergelitik dengan ulah-ulah lingkungan disekitar saya yang membuat saya bertanya-tanya. Dan kali ini tentang marriage life.
Kejadian pertama yang menggelitik saya adalah ketika saya mencoba menelepon salah seorang sahabat yang memang beberapa hari lalu mengirim SMS mengatakan dia libur hari ini dan memutuskan untuk bertemu jika sempat. Sebagai salah satu usaha untuk mengkonfirmasi kesepakatan yang kami putuskan kemarin saya menelepon ke rumah sahabat. Dan memang dia ada dirumah serta tidak berencana kemana-mana. Maka, saya memutuskan untuk mengunjunginya kemudian waktu. Sebagai permulaan cerita kehidupan yang memang selalu kami lakukan setiap kali bertemu atau berbincang melalui telepon, saya membuka pembicaraan dengan menanyakan kabar anak dan suaminya. Yah ... Pertanyaan basa basi lah. Namun, sepertinya kehidupan seseorang yang telah menikah dan belum menikah begitu berbeda. Belum ada satu pertanyaan meluncur mengenai cerita hidup, si sahabat sedikit-sedikit menyela pembicaraan saya dengan bercanda dengan sang baby yang memang sedang dalam usia lucu-lucunya. Bahasa Jawanya, ngudhang. Di tengah-tengah saya sedang berbicara. Lalu, menjawab sekenanya dan berganti bercerita panjang lebar tentang anaknya yang baru saja jatuh dari tempat tidur, betapa lucunya anaknya, atau betapa pintarnya anaknya. Entah kenapa saya merasa ada yang berbeda. Bukan salah. Hanya berbeda. Tidak ada yang salah dengan betapa seru hidupnya sebagai ibu baru karena saya juga sayang dengan sang bayi yang sudah saya anggap sebagai keponakan, hanya saja seringnya disela dengan kegiatan me-ngudhang sang bayi menyebabkan pembicaraan kami menjadi sedikit tidak fokus. Dan ini bukan sekali. Semenjak si sahabat menikah entah untuk alasan apa, setiap saya menelepon selalu ada saja momen "sela" yang, kalau boleh jujur, membuat saya mendadak enggan berbincang lama, dimana hal itu adalah "the us moment" sebagai sahabat yang memang sudah lama tidak bertemu. Sebelum memiliki anak momen "sela" itu disisipi dengan telepon yang tiba-tiba disodorkan ke suami yang saya juga kenal baik sebetulnya. Mmm ... Lagi-lagi tidak salah apa yang dilakukan. Tapi entah kenapa saya terkadang merasa terganggu melainkan bentuk silaturahmi ke semua pihak. Mungkin hanya perasaan saya saja. Sebagai seorang yang masih bujang, pada akhirnya saya memang tidak akan bisa dan mau memperpanjang pembicaraan kami. Takut dianggap tidak sopan, mengganggu family time mereka. Padahal, FYI, saya bahkan mengirim teks SMS terlebih dahulu untuk menanyakan apakah memungkinkan untuk dihubungi. Pembicaraan pun saya akhiri baik dengan alasan yang sebenarnya dan kadang kala saya buat-buat, itupun sebelum saya menceritakan cerita hidup saya. Kali ini saya tidak menyebutkan alasan apapun ketika menutup telepon dan hanya mengatakan akan meng-SMS kembali nanti.
Kejadian kedua yang kembali menggelitik saya adalah lagi-lagi terkait dengan sahabat lain yang melalui pesan privat Facebook menanyakan pin Blackberry saya. Setelah kami bertukar pin, pembicaraan pun berlanjut. Lagi-lagi pertanyaan basa basi muncul, namun bedanya kali ini si sahabat belum pernah mengenalkan suami karena kami tinggal di berbeda pulau sehingga pertanyaan tentang suami hanya sebatas kabar dan pekerjaannya. Kemudian, muncul pertanyaan dari sahabat yang menanyakan sahabat lain yang memang sudah menikah kepada saya. "Maklum aku sudah ngga ngikutin kabar kalian sejak nikah. Kamu masih contact sama teman-teman?". Mmm ... Entah kenapa, lagi-lagi semoga hanya perasaan saya, merasa sebagai seorang yang masih bujang adalah tempat sumber informasi mengenai teman-teman lain dan kalau boleh saya ibaratkan layaknya yellow pages atau nomer informasi telkom 108. Kali ini mungkin memang saya yang berlebihan. Saya yakin penyebab utama loose contact-nya akibat perbedaan domisili kami saja. Tapi kali ini sedikit lebih nyaman karena si sahabat menanyakan cerita hidup saya, meskipun memang singkat dan lagi-lagi chat melalui BBM terputus begitu saja. Dan kemudian terlihat foto status BBM berganti,"With my hubby at xxxxxx".
Kejadian ketiga yang menggelitik saya, meski bukan terjadi hari ini, melainkan beberapa waktu lalu ketika si sahabat memutuskan berlibur ke Malang. Dan schedule weekend saya kosongkan demi si sahabat. Selama 4 hari saya menemukan kembali "the us moment" yang memang dulu semasa kami kuliah tidak pernah sekalipun kami terpisah. Dimana ada saya, disitu ada si sahabat. Dan si sahabat pun cukup adil karena benar-benar menikmati momen itu dengan tetap terus berkomunikasi dengan sang suami. I thank you for that us moment yah ... Namun, lagi-lagi sebuah ucapan sahabat yang membuat saya kembali bertanya,"Kayaknya emang perlu dibikin spare time buat liburan sama kamu niy tiap tahunnya". Again, saya ber- positive thinking karena domisili sahabat yang juga berbeda pulau dan tidak murah menempuh ribuan mil melalui jalur udara hanya untuk leisure time. Pertanyaan kembali muncul, sebegitu susahkah bisa mendapatkan "the us moment" sampai-sampai perlu ada schedule yang jauh-jauh hari dipastikan jika kita tinggal di satu kota?
Dari ketiga contoh kejadian itu, diantara berbagai macam kejadian terkait yg pernah saya alami, pada masa-masa awal saya "ditinggalkan" oleh para sahabat yang mulai menjalin kehidupan rumah tangga sempat dihinggapi pertanyaan dan asumsi-asumsi reason yang tidak bisa saya cerna. Dan mengambil sebuah kesimpulan betapa unsociety-nya kehidupan setelah menikah. Kehidupan mendadak hanya berputar diseputaran suami, anak, rumah, dan keluarga. Teman atau kehidupan sosial diluar itu adalah nomer kesekian. Dan sempat marah, menuduh mereka yang menikah adalah mereka yang melupakan society mereka yang secara tidak disadari turut berperan dalam membentuk pandangan hidup mereka.
Tapi ... Saya salah.
Setelah mencerna dan mencoba berpikir kembali, tidak ada yang salah dengan life after marriage siapapun. Bukan sebuah kesalahan jika mereka begitu fokus dengan empat hal dasar yang membentuk sejarah baru di kehidupan mereka. Suami/istri, anak, rumah, dan keluarga. Yess, sebuah keluarga adalah sejarah, dengan segala hal baik maupun buruknya yang mungkin terjadi semua berawal dari keluarga dan akan kembali pula ke keluarga sebagai tujuan akhir. Mungkin saya hanya takut kehilangan sahabat-sahabat yang menjadi muara kecil cerita hidup saya sebelumnya, dan ketika muara itu hilang cerita hidup saya hanya mengarah dan hanya melalui satu tempat, tenggelam bersama samudera. Namun, juga mencoba memahami mungkin memang begini proses hidup. Pada saatnya barangkali saya juga seperti mereka. Hanya saja saat ini saya tidak tahu rasanya dan hanya mampu "mencoba" memahami situasi mereka yang sedang fokus menyusun sejarah kehidupan sebaik mungkin hingga pada akhirnya nanti. Dan sekali lagi mungkin hanya perasaan saya saja, jika cerita hidup saya mendadak bukan topik pembicaraan yang menarik karena kalian sudah melalui sebelumnya apa yang saya alami saat ini, dan cerita kalian adalah "the first time moment" yang penuh dengan new experience every single day. Couldn't blame on you, but honestly, I do missed "the us moment".
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dear Rika & friends ...