25 Mei 2011

#1


Apa tampilan desktop kalian?

Ini tampilan desktop saya …

Untitled1

Awalnya tidak ada yang salah …

Selang 2 menit kemudian, tampilan desktop saya berganti wallpaper secara otomatis dan memang itu yang saya atur di pengaturan desktopnya. Sebuah kotak aplikasi timer atau countdowner Liliypie yang sempat saya pasang di desktop saya agak mengganggu saya …

Untitled

Baru sadar, sudah setahun sebulan seminggu dan satu hari saya menjadi Si Doel. Coba baca beberapa tulisan saya tentang si doel versi saya. Singkatnya Si Doel sebutan untuk status saya yang masih mencari pekerjaan. Hihihi. Pada pernah lihat sinetron si Doel kan?!

24 Mei 2011

SIPENMARU … UMPTN … SPMB … SNMPTN … BINGUNG ?!

Senin, 23 Mei 2011. Tidak ada yang spesial dengan hari ini sebenarnya dalam hidup saya. Tapi tidak untuk beberapa orang diluar sana. Barangkali ada yang sedang mendapat musibah, sial, ceroboh, atau sesuatu yang tidak mengenakkan. Atau, bahkan, sedang deg-deg-an.

Awal hari dibuka dengan bbm sapaan keponakan tersayang yang memang selama beberapa waktu belakangan, khususnya dua minggu terakhir, sedang kebingungan. Satu langkah besar dan crucial sedang dijalaninya. Peralihan antara anak sekolahan (baca: ABG) menuju anak kuliahan memang tidak pernah mudah. Saya pernah mengalaminya. Seperti berada didepan gerbang besar yang selama ini terkunci rapat, dengan tinggi ratusan meter, dan terbuat dari beton dengan ketebalan super, yang sedang dipersiapkan untuk dibuka. Harus saya akui, masa sekolah, khususnya masa SMU memang indah. Tapi masa kuliah jauh lebih menantang. Gerbang dunia mulai terbuka perlahan. Apa yang tidak kita dapatkan semasa sekolah, mulai bisa kita lakukan. Ada kalanya wajar ketika kita merasa limbung melihat betapa luasnya dunia diluar sana. Sekali salah langkah, jika tidak mampu mengembalikan diri ke posisi yang lebih baik, hilang indahnya dunia. Oke saya mulai meracau galau.

Sebut saja Di, keponakan saya, yang mulai kebingungan menentukan jurusan yang akan ditempuhnya selama beberapa waktu kedepan. “Pokoknya aku ke Malang aja” kurang lebih itu katanya. Hihihi jadi teringat saya tujuh tahun yang lalu. Memantabkan pilihan pada kota kecil di Jawa Timur yang memang terkenal sebagai kota pendidikan selain Yogyakarta. Boleh di-browse betapa banyaknya jumlah fasilitas pendidikan di kota ini. “Tapi jurusan apa  ya, tante?” kebingungan mulai melanda Di. Errr … mau tidak mau segala macam spekulasi, strategi, atau apapun namanya memang harus dikerahkan. Bisa dimaklumi karena masa inilah untuk pertama kalinya seseorang menentukan sendiri apa yang diinginkan. Terlepas dari beberapa cerita pengalaman teman-teman yang 'agak sedikit dipaksa’ oleh orang tua memilih jurusan tertentu atau kampus tertentu. Kejadian serupa tidak lama terjadi setelah menghabiskan beberapa waktu membahas berbagai macam kemungkinan yang bisa terjadi dengan pilihan-pilihan jurusan Di melalui bbm, mulai dari pertimbangan tujuan kuliah, passing grade, jumlah peminat, kemampuan Di (moril, finansiil, mental), hingga kemungkinan peluang bekerja nantinya. Untuk tujuan mencari lowongan pekerjaan saya menuju Warnet terdekat dirumah dan mendapati beberapa bilik komputer mulai penuh dengan anak seusia Di. Untuk ukuran pukul 9 pagi cukup ramai pengunjung warnet. “Pada mau daftar online SNMPTN, mbak” kata mbak penjaga warnet. Hah?! Daftar online?? Enak betul ya … Berbeda dengan jaman saya dulu ketika SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa baru), istilah lain SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri), yang harus susah payah mengantri pengambilan formulir pendaftaran Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di sekolah, menjaga kebersihan lembar pengisian komputer yang jadi momok kala itu karena ada kemungkinan tidak terbaca oleh sistem komputer jika kotor atau terlipat, mengisi secara teliti, kemudian kembali mengantri mengembalikan formulir yang telah terisi ke sekolah (karena pilihan pengumpulan secara kolektif melalui sekolah jauh lebih meringankan ketimbang harus mengembalikan pada panitia SPMB secara individu). Di tengah keributan para calon mahasiswa baru itu, saya jadi tergilitik setiap mendengar beberapa dari mereka berdiskusi satu dengan lain mengenai jurusan yang mereka cita-citakan. Dengan apapun tujuan yang melatar belakangi. Tidak bermaksud untuk besar kepala dan sok memberi masukan kepada adik-adikku sekalian, ini yang bisa saya share sesuai dengan pengalaman pribadi saya tentang seleksi calon masuk PTN yang memang super membuat bimbang.

22 Mei 2011

ME TIME : Toko Buku


Library Cafe - Gramex, Surabaya
Secara judul post kedua tentang 'Me Time' kali ini, rasanya tidak perlu panjang lebar dijelaskan apa yang selanjutnya terjadi. Toko buku. Sebut saja beberapa merk atau nama toko buku di Indonesia, tempat yang satu ini memang paling membuat betah untuk ukuran penikmat karya tulisan semacam saya. Kalau dibayangkan saya punya banyak uang untuk membeli beberapa buku, maka anda salah. Hehehe. Saya adalah salah satu model penikmat karya tulis yang agak licik. Rela menempuh puluhan kilo menuju toko buku hanya untuk membaca. Ritual yang biasa saya lakukan di toko buku umumnya diawali dengan melakukan screening buku terbaru atau biasa yang disebut dengan new release. Buku-buku ini biasanya terpajang pada meja pajang dekat pintu masuk toko buku. Tapi sekali lagi, saya adalah contoh pembaca yang punya kebiasaan aneh. Bukannya dengan segera membaca sinopsis atau ringkasan cerita buku-buku terbaru, saya justru segera meninggalkan meja pajang terdepan tersebut dan memulai ritual selanjutnya, berkeliling dari ujung hingga ujung toko buku. Bukan tidak mungkin saya bersedia berdiri selama beberapa menit di setiap rak dan meja pajang hanya untuk sekedar membaca singkat ringkasan cerita yang terdapat pada bagian belakang buku. Jadi jangan heran kalau mendapati saya bisa berjam-jam berada di toko buku. Bagian prosesi di toko buku yang paling membahagiakan saya adalah ketika menemukan buku bagus pada rak terpencil, terbelakang, terujung, paling atas, dan tersembunyi.

Saya percaya pada prinsip don't judge book by its expiration. Buku lama cetakan terakhir dengan kondisi mulai berubah warna kekuningan, dan beraroma lapuk, tidak menjamin keusangan jalan cerita yang tidak sesuai dengan kondisi saat ini alias basi. Beberapa buku dengan tema atau jalan cerita tertentu ada kalanya memang terasa kukona-annya sehingga membuat orang malas untuk membaca pada era yang berbeda. Namun, sebaliknya, pada beberapa buku tertentu, semakin usang justru semakin menarik dan diburu. Bukan sekali atau dua kali saya menjadi book hunter dan mendapati saya tidak mendapatkan apa-apa atau bertangan kosong saking usangnya buku itu. Buku usang yang pertama saya baca berjudul Zoya, kalau tidak salah. Saya harus berterima kasih pada guru Bahasa Indonesia jaman saya SMU, Pak Suparta, yang rajin membuat anak muridnya kebingungan dengan tugas-tugas kesastraan yang agak ajaib untuk ukuran era kala itu. Perlu juga berterima kasih pada Mira Lesmana, Rudi Sudjarwo, Dian Sastrowardoyo, Nicholas Syahputra yang bersamaan dengan tugas-tugas sekolah Pak Parta, begitu kami biasa menyapa beliau, muncul dengan kutipan-kutipan puisi karya Chairil Anwar, berjudul Aku, dan menjadi tren ABG ketika itu, dan membuat Pak Parta menjadi. Tuntutan tugas membacakan sebuah karya puisi didepan siswa kelas lain, termasuk dihadapan kakak-kakak kelas yang aduhai membuat bulu kuduk berdiri, membuat kami semua harus menyatroni Gramedia, toko buku bekas, dan perpustakaan umum kota hanya untuk memperoleh sebuah karya puisi yang paling pas menurut kita, karena tuntutan Pak Parta yang tidak membolehkan kami mengambil karya puisi yang sama. Dan di perpustakaan umum kota Surabaya itulah mata saya terpaku pada Zoya. Novel romansa berlatar situasi kehidupan awal abad 19 yang entah salah atau sengaja diletakkan asal pada rak yang tidak seharusnya oleh pembaca sebelumnya, tepat diantara tumpukan buku-buku karya sastra Indonesia angkatan 60. Pengalaman kali pertama yang membuat saya jatuh cinta pada karya-karya usang. Dan semenjak itu kebiasaan mencari buku-buku pada rak tersembunyi muncul.

21 Mei 2011

ME TIME : spa


Amarita Day Spa & Beauty Clinic
Malang, East Java
(private collection by : Rika)
Liburan, ingin menghabiskan waktu tapi tidak ada kawan? Maka, saya menyarankan do something different yang belum pernah anda lakukan. Jangan takut garing atau dipandang aneh, banyak beberapa hal yang bisa dilakukan. Post kali ini sebenarnya bisa dibilang curhatan pribadi yang sedang bengong, sendiri, no partner buat hang out, tapi ingin sekali melakukan sesuatu, dan ditulis disela rangkaian 'me time'. Ini yang saya lakukan kali ini ...

Google-ing tempat spa palling hips in town, itu yang pertama terbersit di pikiran. Hehe. Meski saya belum ada penghasilan tetap untuk leisure time yang satu ini, kalau sesekali dengan menguras sedikit tabungan dari salary pekerjaan paruh waktu sebelumnya, masih mampu kok. Sebagai kota 'kecil' yang mulai keren (baca: ramai kehidupan perkotaan), agak susah sebetulnya mencari tempat spa yang keren dan terjangkau dengan kantong. Apalagi dengan segmentasi penduduk kota malang yang memang 80% dihuni oleh para mahasiswa pendatang, semakin sulit mencari spot leisure time yang benar-benar maksimal. Tapi tidak kurang akal, memaksimalkan peran Om Google yang keren. Search engine satu ini memang paling jago urusan menampilkan informasi yang kadang-kadang kita blank sama sekali. Lalu, muncullah nama AMARITA day spa & beauty clinic. Setelah membandingkan harga yang ditawarkan dengan tempat serupa yang lain, memang kesannya tempat ini lumayan mahal. Sebut saja kisaran harga spa antara 200.000 - 300.000 rupiah, dibandingkan dengan spa yang pernah saya lakukan di Surabaya hanya perlu menguras kantong kira-kira 170.000 rupiah. Tapi ... Tentunya tidak perlu khawatir dengan jenis perawatan yang ditawarkan, jelas berbeda dan dari segi tempat juga jauh berbeda. Amarita untuk ukuran spa yang terbilang mahal memang terletak di pinggiran Kota Malang dan pada lokasi yang sedikit 'absurd' yaitu di pinggir jalan arteri masuk Kota Malang yang notabene dilalui berbagai jenis kendaraan, mulai dari angkot, bus, hingga truk. Sempat mengira kalau suasana didalam pasti ikut ramai suara lalu lalang kendaraan, tapi saya salah. Entah harus berterima kasih oleh desain bangunan yang cukup kedap suara atau apa, kita bahkan tidak akan ribut karena suara bising kendaraan yang kita khawatirkan. Good first impression to Amarita.

Mulai menginjakkan kaki di ruang pertama jujur saja tidak terlalu spesial. Bagi anda penikmat bangunan megah, mewah, atau apapun namanya ala tempat spa wah, maaf saja, anda tidak akan mendapatkannya. Cenderung berpenampilan biasa saja, dan barangkali terlihat seperti bangunan lama. Mungkin menjadi bisa dimaklumi karena pemilik spa juga merupakan pemilik showroom barang antik yang terletak persis di bangunan spa. Setelah berbincang sebentar dengan mbak receptionist yang menerangkan mengenai beberapa perawatan yang bisa dipilih di Amarita, akhirnya saya memutuskan untuk memilih paket yang saya lupa bagaimana harus menyebutnya, yang pasti paket perawatan detox tersebut meliputi pijat/massage, body scrub, masker lumpur, sauna, dan berendam. Dan sekali lagi good second impression to Amarita, ruang tunggu pun berbeda dengan ruang depan dimana saya masuk sebelumnya. Tidak bisa disebut mewah, tapi cukup nyaman untuk ukuran ruang tunggu. Awalnya lumayan curiga kenapa harus menunggu, karena pengalaman spa sebelumnya tidak perlu menunggu, rupanya tidak lama kemudian saya cukup mafhum kenapa harus menunggu. Lima menit kemudian muncullah Mbak Titin, therapist, yang menangani saya mempersilakan menuju ke ruangan spa. Good third impression to Amarita. Satu-satunya yang saya pikirkan kala itu hanya sebuah tekat untuk menjadi pelanggan yang cerewet atas servis yang mereka berikan, mengingat harga spa yang cukup mahal. Tapi lagi-lagi saya bungkam karena good fourth impression dari Amarita. Setelah masuk kedalam ruangan spa, saya benar-benar terkesan dengan tampilan ruangan yang memang benar-benar bukan spa abal-abal ala salon kecantikan yang sebelumnya pernah saya kunjungi yang hanya berupa bilik atau sekat asbes yang memisahkan ruangan satu dengan yang lain. Setiap ruangan memiliki kamar bilas, sauna, dan bak rendam masing-masing. Terasa sekali ruang privasi yang memang seharusnya diberikan oleh pelayanan spa. Bahkan, saya semakin tidak bisa mendengar suara luar satupun jika pintu tidak dibuka. Setelah mengorek sedikit dengan Mbak Titin, memang konsep itu yang ingin diberikan oleh Amarita.

15 Mei 2011

how to pack your things in a minute??

this is my last semester here, tapi yang tidak saya pikirkan dari kemaren2 adalah mencicil utk membawa pulang barang2 saya...
senin besok, kampus saya sudah memasuki masa libur panjang...looong holiday
ga tanggung2 4 bulan!!
and new semester will be start at September 2011...it's a full 4 months of holiday
(for them who taking Master by taught course or undergraduate)
for the rest (read : Master by research and PhD student) it will be our first looongg internet connection without problem, it will increase our health...why??because there's no campus bus so we have to walk everyday to the lab or library or having lunch/dinner (for those who have no vehicle like me :P)
tapi libur semester ini berbeda buat saya,
pertama, krn saya akan menghabiskannya di Indonesia...*akhirnya sy bs liburan lumayan lama*
kedua, saya diusir dari dorm saya yg sudah saya tempatin 2tahun ini, hanya karena semester depan saya udah gak disini...
jadi....starting tomorrow saya akan meninggalkan kamar lama saya ini
dan pindah di asrama sebelah
sebenarnya saya masi punya hak disini, tapi males kalo harus marah2 sama pihak kantor asrama
karena percuma aja, mereka itu gak punya hati
ok, yang sekarang jadi masalah adalah bagaimana menge-pak barang2 saya satu kamar itu dalam waktu singkat, untuk pindahan ke asrama sebelah?? kardus2 saya gak begitu banyak
akhirnya ada seorang kawan yang menyarankan : pake disposable bag utk tempat sampah itu aja!
so...this is her advice :
1. kamar yang sudah ditempati selama 2 tahun tentu saja bakal penuh barang2 (jujur saja, barang saya banyak, baju terutama, tapi...banyak jg pernak-pernik spt piring, gelas, dll yang hasil hibah dari teman2 yg sudah pindah lebih dulu). jadi di pilah2 dulu barangnya
2. buang yang gak perlu, kertas2 bekas disendirikan, karna pasti ada yg mau nerima kertas2 bekas itu, yakin deh!
3. beli plastik besar itu, dan isi plastik sesuai dengan tempat dia berasal. contoh : barang2 yang diletakkan di meja dijadikan satu plastik dengan label : MEJA. barang2 di rak dan lemari begitu juga
4. then....tinggal angkut pake mobil sewa...dan kita akan menatanya kembali dikamar yg baru...
jadi gak kerja 2 kali untuk menata dan membersihkannya...
dan kemaren, sewaktu saya beli plastik itu, si abang2 yang jual bilang : ini nak balik ke nak pindah dek??
hahaha,..rupa2nya cara itu udah umum disini, cuma saya aja yg gak tau :))
mungkin ini akan perlu bagi kalian yang harus pindah dorm kyk saya dalam waktu singkat...semoga berhasil!!

HOTEL PRO DEO

Setelah hampir 3 bulan berusaha menyelesaikan (membaca) novel ini, akhirnya selesai juga!!!! The end.

Siapa yang tidak kenal Remy Sylado? Tapi kalaupun ada yang tidak tahu siapa beliau, ngga apa-apa juga siy. Karena saya pada awalnya cuma tahu Remy Sylado penulis Indonesia, berambut putih, pernah ditangkap karena kritis terhadap pemerintah, dan seorang sastrawan. Setelah google-ing siapa beliau, rupanya penilaian saya tidak salah.
Kesan pertama kali yang muncul ketika membaca novel pertama Remy Sylado yang saya baca, adalah .... Terkesan. Oleh betapa Indonesia-nya penulis yang satu ini, tanpa mengecilkan penulis Indonesia lain yang bukan berarti tidak orisinil asli Indonesia. Penggunaan diksi (baca: pilihan kata) kental sekali aroma Indonesia untuk mengartikan (atau sekedar mengeja) beberapa kata dari bahasa asing dan menggunakan kata-kata Indonesia lama yang sudah jarang dipakai. Macho menjadi maco, 'pringsilan' , 'rahib', 'resi', 'diwasangkai', 'ikhtiar zindik', 'menjeb' , dan lain sebagainya, yang saya sendiri kurang begitu paham apa artinya. Atau, kata istilah beberapa ahli bahasa, disebut sebagai Munsyi (sumber: wikipedia). Tanpa menjadikan novel ini sebagai karya sastra njlimet dan terjangkau oleh otak-otak dengan kemampuan pentium 4 seperti saya. Saya memang belum pernah membaca karya-karya beliau sebelumnya. Dan semoga memang karya-karya yang lain juga tidak se-njlimet karya sastrawan yang umumnya terlalu mendakik-dakik, atau bikin kepala pusing tujuh keliling.

Kesan kedua terhadap novel ini, takjub. Dengan jalan cerita dan pemilihan latar situasi yang terasa orisinalitas mengenai data, sebutan jumlah, atau angka. Hotel Pro Deo memilih latar situasi peristiwa '98, dan mengangkat isu rasis, politik kala itu, menambah bumbu drama keluarga yang sebenarnya tidak terlalu spesifik berbeda dengan intrik drama-drama lainnya. Menjadi spesial karena (sepemahaman saya) situasi yang diangkat begitu nyata. Sekali lagi mengutip informasi pada situs Wikipedia mengenai Remy Sylado, kekuatan penulisan karya-karyanya memang didasarkan pada hasil riset data yang akurat, yang saya sendiri belum pernah membaca karya fiksi yang begitu detil. Hanya saja pada beberapa bagian memang akan terasa agak sedikit 'lebay' (Maafkan saya kalau mendadak menjadi sok komentatoris mengenai tulisan beliau). Sebagai awam, dan mencoba berpikir jauh lebih sederhana, ada kalanya di beberapa bagian, Remy menuliskan mengenai isu penting tentang rasialisme era '98, yang tidak terkait sedilit pun dengan latar cerita yang sedang ditulis. Misal, dengan latar cerita di sebuah sidang pengadilan kasus kriminal yang dialami tokoh antagonisnya, mendadak muncul baris kalimat yang mengangkat isu rasis yang memang sebetulnya diceritakan dalam novel tersebut. Tapi di-logika-kan pun (berdasar dari runtutan kejadian fiksi sebelumnya), tidak bisa ditarik benang merah dengan isu kriminalitas yang coba diungkap. Kalau saya bilang siy, mungkin ini 'curhat' atau opini Remy mengenai isu terkait. Tidak salah dan tidak jelek, hanya saja dua paragraf panjang mengurai opini yang tidak terkait dengan latar cerita, menjadi tidak penting dan pemborosan paragraf. Mungkin juga begitu ciri penulis angkatan lama semodel beliau, kritik sosial, isu politik, ras, dan kriminalitas tetap menjadi bumbu fiksi namun nyata adanya.

4 Mei 2011

DON’T KILL THEM!!

First of all … would like to thank to Oprah Winfrey as one of the most influence woman in the world yang mengangkat tema ini di salah satu episode talkshow “Oprah show” setahun yang lalu. Meskipun sebenarnya isu ini sudah setahun yang lalu, tapi tidak begitu yakin juga kalau kenyataan di lapangan sudah bisa diatasi. Latar belakang pemilihan topik posting kali ini didasari oleh sebuah episode Oprah Winfrey Show beberapa minggu yang lalu, bertepatan dengan Earth day atau kalau di Indonesia lebih dikenal dengan Hari Bumi. Saya yang biasanya suka lupa dengan jam tayang talkshow ini entah kenapa kali itu tepat memilih channel televisi nasional yang memang menayangkan acara tersebut pada jam yang tepat pula. Setelah sneak peak sejenak ke situs tersebut, ternyata episode tersebut merupakan episode masih terkait dengan peringatan Hari Bumi, namun dalam periode waktu setahun yang lalu. Betapa telatnya berita ini sampai ke Indonesia, itu yang saya pikirkan. Tapi tidak ada yang terlambat untuk berita yang penting.

Seluruh dunia pasti paham Jepang adalah salah satu negara dengan konsumsi ikan terbesar di dunia, eh kalau yang ini siy asumsi saya (baca: belum riset hehehe). Didasarkan pada setiap restaurant Jepang yang memang menyuguhkan makanan berbahan dasar ikan laut atau seafood. Dan mungkin tidak hanya Negara Jepang saja yang begitu, wilayah-wilayah disekitarnya seperti China, Taiwan, bisa juga kita asumsikan seperti itu. Yahh … sederhananya bangsa serumpun itu memang doyan banget sama ikan-ikan an. Tapi pernahkah kita membayangkan kalau beberapa orang diluar sana (tanpa menyebutkan salah satu negara atau bangsa), juga mengkonsumsi daging lumba-lumba?? Shocked, itu yang pertama saya rasakan ketika melihat episode Oprah show kali itu. Sebenarnya kali itu Oprah mengundang tamu-tamu pemenang Oscar untuk kategori film dokumenter yang menceritakan pembunuhan lumba-lumba besar-besaran yang terjadi di Teluk Taiji, JepangTaiji Bay. Mendadak saja pembicaraan tidak penting lagi soal bagaimana film itu sebenarnya, melainkan isu terpenting yang harus kita ketahui sebagai bagian dari civil society. Pembantaian itu memang terjadi dan memang disahkan oleh pemerintah Jepang dalam batas tertentu. Saya kurang paham juga bagaimana aturan atau ketentuan mengenai batas maksimum dalam penangkapan ikan di laut. Sedikit yang saya pernah dengar di beberapa negara memang ada aturan tegas mengenai jenis ikan apa saja yang boleh ‘naik ke permukaan’ untuk dikonsumsi termasuk jumlah dan batas maksimum bobot ikan. Semua itu saya yakin ditentukan untuk menjaga kelestarian atau paling tidak memberikan kesempatan bagi ikan-ikan di laut untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Tidak terbayang saja ikan seumur jagung sudah boleh dikonsumsi (kalaupun bisa), mana penerus bangsanya???

Kalau soal menangkap saja sudah ada aturan pada consumable fish, apalagi untuk spesies ikan yang termasuk dalam spesies langka dan memang bukan untuk konsumsi?? Menangkap saja sudah salah, apalagi membunuh?? Web situs ini yang perlu teman-teman semua lihat. Buat anda yang memang seangkatan dengan saya (hehehe), perlu sedikit mengeluarkan referensi film yang pernah ditonton dimasa kecil dulu. Flipper. Film seri televisi tentang lumba-lumba yang friendly dengan manusia dibuat tahun 1964 dan dibuat ulang pada tahun 1996 dibintangi oleh Elijah Wood. Percaya atau tidak, Flipper memang benar-benar ada dan dilatih oleh pelatih lumba-lumba profesional dan menjadi salah satu hewan pertunjukkan pada tempat hiburan safari lainnya. Flipper versi tahun 1964 diperankan oleh lumba-lumba betina bernama Kathy dan dilatih oleh pelatih lumba-lumba profesional Ric O’Barry, yang setelah kematian Kathy beberapa tahun kemudian memutuskan tidak lagi menjadi pelatih profesional melainkan menjadi aktivis perlindungan lumba-lumba. Sosok O’Barry inilah yang menggaungkan berita pembunuhan lumba-lumba di Jepang seperti yang bisa kita lihat pada film dokumenter yang dibuatnya bersama beberapa rekan dan berhasil memenangkan Oscar untuk kategori film dokumenter terbaik tahun 2010 lalu.

Ric O'BarryShe was really depressed … You have to understand dolphins and whales are not (involuntary) air breathers like we are. Every breath they take is a conscious effort. They can end their life whenever. She (Kathy/Flipper) swam into my arms and looked me right in the eye, took a breath and didn’t take another one. I let her go and she sank straight down on her belly to the bottom of the tank. – Ric O’Barry on Oprah’s interview

2 Mei 2011

ANALOGI KACAU

NATO dan POLSEK.

Sebenarnya tidak ada hubungan antara keduanya. Kesamaan apalagi. Tidak pula bisa dibandingkan antara NATO dan POLSEK. Tapi untuk kali ini, secara sederhana bisa terlihat kesamaan peran dan fungsi meskipun dengan berbeda latar kejadian.

North Atlantic Treat Organization atau yang biasa kita kenal dengan NATO singkatnya merupakan aliansi negara-negara di sekitar Samudera Atlantik utara (keanggotaan ditetapkan berdasarkan perjanjian/treaty) sepakat untuk bekerja sama dalam bidang militer dan politik. Sebelumnya saya mohon maaf sebesar-besarnya bagi pakar/ahli politik atau militer kalau ada pemilihan kata saya kurang berkenan, karena setelah membuka web situs NATO kok ya agak ribet yah istilah-istilahnya (blame it on TOEFL score yang ngga nyampe 500!!!). Dengan pemahaman terbatas dan super cetek dari otak saya, kurang lebih saya mengibaratkan NATO sebagai genk negara-negara atlantik utara atau semacam ASEAN gitu, dibentuk agar lebih kompak, solid antara tetangga kanan kiri, dan eksis diantara negara-negara di dunia (lagi-lagi ini bahasa saya). Dan sebagai sektor kehidupan yang cukup penting antar negara dan mempertaruhkan keutuhan sebuah negara, dipilihlah bidang politik dan militer sebagai dasar pembentukan kerjasama. Sama-lah seperti ASEAN, dibentuk untuk mempermudah pergerakan regional antar negara Asia Tenggara di berbagai bidang yang notabene masih di-klaim sebagai negara berkembang.

Terakhir yang saya ingat terkait dengan organisasi ini adalah beberapa tahun lalu ketika saya masih duduk di jenjang pendidikan sekolah dasar (SD) dalam pelajaran sejarah tentang mengapa negara kita, Indonesia, tidak masuk sebagai bagian dari negara anggota NATO atau SEATO. Khusus yang SEATO memang tidak terlalu banyak terdengar suaranya, karena memang organisasi ini berakhir di tahun 1977 (koreksi jika saya kurang tepat). SEATO dibentuk semodel dengan NATO hanya dengan negara anggota yang berbeda. SEATO beranggotakan negara-negara South East Asia atau Asia Tenggara, tapi yang sedikit aneh, Amerika juga masuk sebagai negara anggota. Eksis sekali ‘tuh Paman Sam. Kenapa negara kita tidak memilih menjadi anggota keduanya, katanya karena negara kita menganut politik bebas aktif. Tidak memihak salah satu pihak, let’s say north or south, namun tetap aktif dalam perdamaian dunia. Dan isu terhangat yang paling sering kita dengar sekarang ini tentang serangan NATO di beberapa wilayah Libya, tentunya terkait proses demokrasi yang terjadi disana, serupa dengan peristiwa 1998 di negara kita tentang pelengseran presiden Soeharto yang sudah hampir 32 tahun sebagai RI 1. Lebih parah lagi yang terjadi dengan negara di tanah Afrika ini, Presiden Ghadafi menjabat sebagai orang nomer wahid di Libya selama hampir 42 tahun. Wajar ketika warga menjadi gerah, galau, ketika nasib mereka stagnan, terkungkung dengan aturan ditaktoritas pemimpin mereka, dan tidak bisa menyuarakan apa yang ingin mereka katakan. Kita sebagai bagian dari Indonesia pernah melalui itu, masa dimana kita begitu ‘takut’ untuk berkata Z sementara negara berkata A. Dan ketika kejenuhan kepatuhan itu sampai di ubun-ubun, itulah yang terjadi. Kakak-kakak mahasiswa kala itu benar-benar menjadi agent of change yang memiliki kekuatan mutlak dan sah sebagai squad atau troopers terdepan menyuarakan apa yang menjadi bahan pemikiran terpendam. Sebagai anak sekolahan yang belum paham soal politik dan kekuasaan (begitu juga hingga sekarang), barangkali semua hot temper di ibukota tidak terasa di Surabaya karena jujur saja situasi di Surabaya cenderung aman dan terkendali, meskipun saya tetap yakin kakak-kakak mahasiswa di belahan Jawa Timur mana pun terusik juga dengan ketidak adilah era itu dan mungkin turut memperjuangkan aspirasi di ibukota. Semenjak itu semakin yakin, kota kelahiran saya ini benar-benar barometer keamanan negara yang sesungguhnya. Kalau Surabaya mulai kacau, maka keamanan negara kacau pula. Sebaliknya, Surabaya terkendali, negara hanya sedang melalui kerikil-kericil kecil dalam perjalanan (baca: pendewasaan)-nya. Ahhh … sok politis saya di paragraf ini !!!

NATO_Cooperations_Partners

NATO

SEATO2

SEATO

*) anggota NATO berwarna biru *) anggota SEATO berwarna ungu

Ini yang sebenarnya yang ingin saya bagi. Analogi militerisasi yang beberapa saat lalu terjadi di ‘kampung’ saya, bersamaan dengan peristiwa pemboman NATO di Libya yang akhirnya ‘berhasil’ membunuh putra Presiden Ghadafi dan ketiga cucunya. Kedua peristiwa yang terjadi bersamaan sedikit mengusik saya tentang hawa-hawa militer atau politik yang terlibat. Bedanya, yang satu bertaraf internasional dan menjadi isu penting dunia, sementara yang lain hanyalah politik ‘kampung’ tapi tetap jadi isu yang bisa menjatuhkan nama baik seluruh warga kampung kalau tidak bisa diredam. Jadi, dalam artian sempit, keduanya merupakan isu penting (bagi saya).

Agak terusik ketika mendengar pasukan militer NATO mulai terjun ke Libya dan ‘ikut-ikut’an ke isu internal sebuah negara yang bahkan tidak menjadi negara anggota mereka. Libya bukan bagian dari NATO. Libya tidak ubahnya Indonesia 1998 yang ‘hanya’ sedang berjuang menuju era demokrasi yang lebih terbuka. Pada awalnya beberapa pembicaraan anggota dewan, pakar pertahanan dan keamanan, politisi, pengamat Libya, atau siapapun yang merasa mampu berkomentar tentang Libya, sebagian dari mereka menyamakan apa yang terjadi di Libya dengan apa yang terjadi di Indonesia tahun 1998. Mulai dari isu pelengseran kepala negara, keterbatasan demokratisasi di berbagai sektor, isu korupsi-kolusi-nepotisme yang serupa, dan isu kemanusiaan lain yang secara tidak langsung pasti dikait-kaitkan. Tapi menjadi berbeda karena campur tangan pasukan militer yang mengatas namakan demi kemanusiaan dan perdamaian. Untungnya (ahhh Jawa sekali saya masih untung), Indonesia kala itu belum melibatkan dunia seperti United Nation (UN) atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) maupun ASEAN sebagai asosiasi negara-negara regional Asia Tenggara. Untungnya, Indonesia masih bisa mengatasi permasalahannya sendiri meskipun hingga sekarang isu kemanusiaan yang muncul akibat masuknya gerakan militer tentara belum terselesaikan (semoga belum ada yang lupa akan peristiwa tewasnya beberapa mahasiswa trisakti dan semacamnya). Saya kurang paham juga peristiwa itu bisa mengartikan posisi Indonesia di mata dunia atau tidak. Dibayangan saya, seandainya saja ada campur tangan pasukan-pasukan militer perdamaian berskala dunia kala itu, alangkah hebatnya Indonesia sebagai negara yang masih berkembang dan saking pentingnya sampai-sampai harus ‘dibicarakan’ oleh seluruh dunia. Tapi disisi lain, tergelitik juga dengan pemikiran barangkali saking ngga penting nya Indonesia seakan-akan ‘disuruh’ menyelesaikan sendiri urusan internalnya. Atau, saking ‘hebat’nya Indonesia negara-negara tetangga menghormati Indonesia untuk membereskan apa yang terjadi dan mereka lebih memilih untuk menunggu dan mengamati. Dan masih banyak lagi spekulasi yang bisa muncul hanya dengan satu peristiwa. Itu kenapa saya tidak begitu suka dengan pendapat yang mengandalkan asumsi belaka. Maklum, didikan orang teknik pengaruh juga kali yah? Bertanya-tanya juga kenapa yah urusan Libya ini seluruh dunia jadi rempong ? Sampai-sampai pasukan militer NATO harus ikut embargo senjata, meminta UN untuk menerapkan no-fly zone di langit Libya, ikut-ikutan memaksa Presiden Ghadafi lengser, dan upaya terakhir yang dilakukan antara lain membekukan aset keluarga Ghadafi apapun caranya. Katanya siy, masyarakat anti Ghadafi yang meminta bantuan NATO. Ada juga yang bilang NATO turun tangan semata-mata karena melihat Ghadafi ini makhluk alot yang tidak mau diatur, ujung-ujungnya (lagi-lagi) mengatas namakan kemanusiaan karena Ghadafi secara terang-terangan pula bereaksi keras akan kelompok kontra.

Tinggalkan sejenak urusan NATO, Libya, dan Ghadafi. Kita beralih ke dalam negeri (diucapkan seperti para pembaca berita). Sebenarnya agak jauh juga yah membandingkan atau menganalogikan NATO dengan bapak-bapak polisi POLSEK. Karena memang tidak sebanding. Hanya saja kejadian beberapa hari yang lalu sedikit menggelitik saya sampai-sampai saya secara random menganalogikan keduanya. Berawal dari kisruh rumah tangga antara tetangga A dan tetangga B yang berlokasi di sisi lain ujung gang rumah dan berselisih kira-kira 10 rumah dari kediaman saya. Kejadian kisruh antar tetangga muncul karena rasa tidak terima kedua orang tua pemuda pemudi bertetangga yang saling jatuh cinta namun karena satu dan lain hal tidak bisa berlanjut. Cukup simpang siur mengenai kronologis kejadian siapa yang memulai terlebih dahulu dan apa penyebab pastinya. Ada yang bilang kisruh dimulai oleh orang tua pemudi (sebut saja Bunga) yang tidak terima perlakuan orang tua pihak pemuda yang mengirim makanan basi. Sama halnya dengan kebiasaan orang Jawa yang suka berkirim makanan antar tetangga, meskipun anak-anak mereka sudah tidak bersama sebagai tetangga yang akur mereka tetap menjalin hubungan yang baik. Hingga sebuah kejadian kalau boleh saya simpulkan hanya sebuah kesalah pahaman dan entah setan apa yang ikut memperkeruh keadaan. Berdasarkan cerita hansip keamanan gang rumah yang selalu berjaga malam setiap hari, tidak ada yang tahu kalau makanan itu basi. Semata-mata dikirimkan ke orang tua pemuda karena mereka kelebihan makanan. Tapi mengingat track record hubungan anak-anak mereka yang kandas tiba-tiba, ada sisi amarah orang tua pemudi yang tidak terima sehingga muncul pemikiran-pemikiran aneh yang kalau dipikir-pikir tidak masuk akal, mengingat seluruh penduduk di gang tempat saya tinggal paham akan hukum. Pertengkaran hebat malam hari tidak terhindarkan sampai-sampai Mama yang sedang pengajian di salah satu rumah tetangga yang berdekatan dengan rumah keduanya jadi shock melihatnya. Dan Mama yang memang tidak begitu suka gossip menahan diri mati-matian sepanjang pengajian untuk tidak terlalu berkomentar panjang lebar.

Semakin meruncing ketika secara tidak sengaja salah seorang anggota keluarga pihak pemudi menyerempet mobil anggota keluarga pemuda yang juga sama-sama diparkir di luar pagar rumah. Emosi menjadi, hingga pada titik tertentu salah satu pihak melaporkan kejadian tersebut ke Polsek terdekat. Sebagai orang-orang yang paham hukum, tetangga lain pun, kali ini melibatkan pihak bapak-bapak, menawarkan solusi perdamaian secara internal gang rumah. Malu rasanya kalau sampai harus melibatkan Ketua Rukun Tetangga (RT) atau ketua Rukun Warga (RW) yang berarti juga pasti akan tersebar ke warga gang lain. Akan jadi reputasi buruk yang selama ini sudah cukup baik dijaga oleh para tetua gang. Sayangnya, karena ego atau entah apa sebutannya, kedua belah pihak berseteru menolak ide perdamaian yang ditawarkan. Hingga pada akhirnya dengan terpaksa hansip keamanan meminta bantuan ketua RT untuk mengantarkan mereka ke Polsek. Lagi-lagi Papa sebagai salah satu warga terlama di gang rumah menolak menjadi mediator keduanya karena memang tidak melihat secara langsung kejadian, tidak terlibat, dan tidak punya kepentingan untuk campur tangan. Well done, dad. Dengan pertimbangan tawaran perdamaian antar warga saja sudah diabaikan, kenapa mesti repot jadi pihak mediator di kantor polisi? Sekalian saja bapak ibu polisi yang memediasi, begitu kata Papa. ”Biar sekalian kalau ada yang salah bisa langsung dilaporkan hehe” guyon Papa. Setelah beberapa jam perdebatan terjadi di kantor polisi, diputuskan bahwa persoalan ini masih belum perlu sampai pada pelibatan aparat penegak hukum, cukup diselesaikan antar warga dengan mediasi ketua RT atau ketua RW. Yahh … apa mau dikata, malu sudah terlanjur. Untungnya (lagi-lagi), pilihan bijaksana pak polisi lumayan bisa diterima kedua belah pihak yang berseteru, meski dengan yakin pun saya bisa katakan itu mustahil. 

Dengan modal otak pas-pasan dan waktu luang yang seluang-luangnya, sebuah analogi kacau muncul dari entah belahan otak saya yang sebelah mana. Kalau disebut datang dari bagian otak untuk menganalisa, apa  yang mau dianalisa? Bagian otak untuk berimajinasi mungkin? Atau belahan otak dengan saraf-saraf yang ngga connect sehingga loncatan-loncatan (impulse) listrik tidak terjadi sehingga analogi yang terjadi menjadi asal. Ahhh apa pula ini???!!! Saya menganalogikan NATO dengan bapak ibu polisi yang menengahi kejadian di kampung saya. Keduanya saya anggap mewakili pihak ‘berseragam’ sebagai jujugan (baca: tujuan) akhir setiap permasalahan yang terjadi, kecuali urusan kemunculan makhluk halus tak menapak tanah yah, itu larinya ke paranormal. Keduanya menjadi pilihan yang dirasa paling adil karena memiliki kekuatan hukum. NATO bereaksi terhadap Libya dengan dukungan UN untuk membantu warga negara Libya yang mulai terancam nyawa setiap malam oleh pemimpin mereka sendiri. Perlahan tapi pasti (layaknya SOP perang yang terdahulu), mau tidak mau, perang, bom, rudal, korban jiwa, dan kematian jadi alur pasti atas nama kemanusiaan. Tapi apa iya? Karena reaksi NATO yang ikut membalas gerakan Presiden Ghadafi juga menimbulkan korban rakyat jelata yang mungkin masih belum paham apa itu demokrasi. Coba saja dibayangkan, Ghadafi menimbulkan korban nyawa, begitu juga dengan NATO. Tidak satu, dua, atau tiga. Mungkin ribuan warga Libya. Lalu, bagaimana dengan isu ladang minyak di Libya yang sepertinya diperebutkan oleh seluruh negara-negara maju (anggota NATO) yang memang ‘miskin’ sumber daya alam ? Mungkin juga. Hey … business will be business. Tidak ada urusan dengan kemanusiaan, perdamaian, atau apapun dalihnya. Profit, profit, profit. Semua menjadi sah karena ada perlindungan hukum dan perundangan atas apa yang mereka lakukan. Perkara ada tunggangan politis, ekonomi, atau murni sosial kemanusiaan, hanya Tuhan dan mereka yang rempong yang tahu. Begitu juga dengan pilihan kantor Polsek untuk menyelesaikan permasalahan antar warga. Dirasa paling adil dan netral karena memang tidak ada celah mencari keuntungan materiil dari warga yang berseteru. Apalagi dengan alasan dan penyebab yang serba geje (baca: Gak Jelas). Tapi bukan juga berarti kepolisian kita sebegitu murninya (saya kira tidak perlu membahas beberapa kebobrokan aparat penegak hukum kita terkait urusan materiil). Hanya saja analogi pilihan pihak kantor polisi sebagai aparat berseragam untuk menyerahkan kembali ke warga untuk penyelesaian, saya angkat topi. Cukup bijaksana dan tidak terlalu memaksakan kehendak mereka sebagai aparat  yang sok ‘berkuasa’ memutuskan salah dan benar. Sehingga, memang tidak ada pihak yang diuntungkan. Lalu, bagaimana dengan NATO ? Saya bukan pakar dan tidak hendak menganalisa bagaimana posisi mereka. Sekali lagi maaf jika saya terlalu memojokkan salah satu pihak tanpa mengupas kepantasan Ghadafi untuk digulingkan. Karena saya memang tidak memiliki kapabilitas tinggi menilai seorang Ghadafi. Entah pilihan yang dilakukan sekarang ini merupakan pilihan yang bijaksana bagi Ghadafi atau bagi rakyatnya atau bagi dunia. Satu yang pasti, selalu ada motif dan harapan disetiap perang, dan (perang) tidak akan pernah menghasilkan pemenang karena dari kedua belah pihak pasti muncul korban. Pemenang sesungguhnya adalah ketika korban nyawa yang ditimbulkan adalah seminimal mungkin dan memilih opsi penyelesaian sebijaksana mungkin. Atau kedua tetangga yang berseteru juga sedang menunggu kesempatan berikutnya untuk menyulut kalimat perang, saya juga kurang tahu. Seingat saya dari cerita papa atau mama, yang pasti pak RT belum mengadakan pertemuan kembali untuk mendamaikan kedua belah pihak. Wallahua’lam …

Tulisan kali ini tidak untuk menganalisa pilihan-pilihan yang dipilih oleh dunia atau pihak-pihak tertentu. Hanya sebuah pertanyaan atas ketidak pahaman saya akan sesuatu yang bernama perang (baca: seteru).