16 Jan 2012

Saya Tidak Tahu …

Sebuah pertanyaan besar yang mendera pikiran ketika baru saja perintah Pak Kasubdiv kepada kami staf-staf nya untuk sesegera mungkin meninggalkan kantor.

Jarang-jarang bagi kami para staf di deputi kami yang bisa dengan mudah pulang ‘sore’ atau tenggo. Bukan maksud mereka menyandera tenaga, waktu, dan hari kami, melainkan memang begitu banyak hal yang harus dikerjakan sesegera mungkin.

Suasana kantor lumayan mencekam sejak pagi hari. Entah satu peleton atau apapun istilahnya polisi berjaga-jaga di sekitaran kantor. Kata teman-teman sekantor mau ada demonstrasi. Semenjak 2 bulan lalu ketika saya masuk dan bekerja di kantor ini, demonstrasi adalah hal yang cukup ‘biasa’. Sudah sering terjadi begitu kata senior-senior kantor. Selama 2 bulan itu juga sudah 3 kali isu demo merebak ke seluruh pegawai kantor. Sekali demo terlaksana tapi Alhamdulillah divisi kami sedang tidak ada dikantor. Sehingga tidak merasakan suasana demo oleh pihak-pihak yang menyerukan agar pihak terkait pada jajaran atas membubarkan kantor kami. Kali kedua, hanya sekedar isu. Berpuluh-puluh nasi bungkus disiapkan untuk bapak-bapak polisi yang berjaga namun entah kenapa demo gagal terjadi. Ketika itu suasana memang tidak terlalu mencekam. Hari ini adalah kali ketiga semenjak saya bekerja di kantor ini isu demo kembali muncul. Dan ini adalah kali pertama saya merasakan bagaimana seramnya suasana demonstrasi yang selalu dikhawatirkan Papa setiap kali melihat tayangan televisi yang meliput tentang aksi demo dimanapun itu.

Kabar pertama saya peroleh dari teman se-divisi yang meminta saya segera ke kantor karena kantor akan segera dipenuhi oleh pendemo yang berarti akan tertutup seluruh akses menuju kantor. Saya lumayan terlambat hari ini, tidak saya sengaja. Pertama kali sampai depan kantor, berpuluh-puluh polisi sudah berjaga didepan dan didalam halaman kantor. Bahkan terlihat beberapa ibu Polwan mengenakan rompi bertuliskan “Tim Negosiator”. Sebegitu seram ‘kah demo kali ini? Mungkin sekedar antisipasi. Sapaan ramah kepada bapak-bapak satpam/security kantor yang biasa saya lakukan, hanya dibalas dengan seruan “Parkir ujung, bu!!” tanpa senyuman yang biasa mereka lakukan juga. Demo kali ini memang seram sepertinya. Beberapa bapak-bapak polisi yang berjaga didalam halaman kantor pun semakin membuat suasana semakin seram. Ini memang seram.

Awal hari tidak ada situasi apapun yang signifikan mengubah ritme bekerja hari ini, kecuali suasana pendemo yang pada akhirnya muncul diluar kantor meneriakkan tuntutan mereka. Karena kami masih bekerja didalam kontainer akibat bangunan kantor yang masih direnovasi, seperti biasanya candaan riang teman-teman di kontainer yang suka saya sebut dengan kontainer “cerah ceria setiap hari indah selalu” membuat awal hari terlihat biasa saja. Normal. Demonstrasi pun terasa biasa saja. Hingga, jam makan siang dan sholat dhuhur tiba. Mendadak Pak Kasubdiv memerintahkan kami untuk segera berkemas mengingat situasi demonstrasi yang semakin memanas. FYI, demo dilakukan di 2 tempat. Kantor kami dan Kantor Gubernur, dengan tuntutan yang sama. Instruksi untuk berkemas meninggalkan kantor pun masih kami anggap santai ketika beberapa menit kemudian atasan tiba-tiba berseru,”Lho kok belum pulang?!”. Baiklah … ini memang mencekam. Saya dan teman-teman segera meninggalkan kantor dan menuju rumah masing-masing. Kantor terlihat mencekam dari kaca spion mobil saya. Sebuah doa tiba-tiba muncul, semoga kantor baik-baik saja.

Sampailah saya pada detik ini sejam setelah saya meninggalkan kantor, duduk di ujung tempat makan salah satu pusat perbelanjaan gadget yang tidak jauh dari rumah, mencari-cari update berita terakhir mengenai demo hari ini. Memang benar. Beberapa surat kabar elektronik menulis artikel singkat mengenai tuntutan para pendemo yang … saya suka kecut mendengarnya. Sedih. Dan berpikir suatu hal. Betapa bebasnya era sekarang.

Setiap orang bebas berbicara, bertindak, menilai orang lain, bercita-cita, bahkan untuk sesuatu hal yang tersimpan didalam pikiran pun tidak ada satu garis atau pagar yang membatasi. Semua bisa secara anarkis meneriakkan apa yang ada didalam pikiran.

Saya tidak bermaksud mengatakan apa yang menjadi tuntutan para pendemo adalah anarkis. Apa yang mereka lakukan anarkis. Atau bahkan apa yang mereka rasakan itu anarkis. Saya tidak tahu apa yang mereka rasakan atau inginkan sesungguhnya. Saya tidak mau mengotori pikiran saya sendiri tentang apa yang sebenarnya terjadi. Sekali lagi saya baru 2 bulan terlibat di kantor ini dan pada posisi “tidak tahu apa-apa”. Yang saya tahu hanyalah bekerja sebaik mungkin, melakukan apa yang bisa saya lakukan, demi kebaikan semua pihak dan kepentingan. Dengan niat tulus, insyaallah. Dan mencoba menempatkan para pendemo itu pada posisi yang sama. MEnuntut sesuatu yang sebenarnya mereka sudah tidak cukup lagi bersabar, demi kebaikan pihak mereka, dan demi niat tulus mereka untuk kebaikan semua pihak.

Terkesan polos, naif, atau bahkan terlalu aman ngga sih cara berpikir saya, dengan mencoba melihat segala sesuatu dari segi positif? Saya tidak tahu.

Bagaimana jika saya menilai mereka anarkis karena merusak beberapa benda di jalanan ketika berdemo? Bagaimana jika mereka memang tidak tahu apa-apa tentang apa yang kami kerjakan, sistem yang berjalan, atau capaian yang sudah kami lakukan? Bagaimana jika mereka memang hanya orang bayaran yang … hanya mencari sesuap nasi dengan menjadi pelakon demonstrasi yang mungkin tidak paham apa yang mereka teriakkan? Bagaimana jika itu bentuk kekesalan mereka yang sudah diubun-ubun yang bahkan saya sendiri tidak tahu bagaimana rasanya? Atau … bagaimana jika saya tiba-tiba menjadi anarkis dengan bebasnya menilai mereka sebagai pihak yang salah/ngawur atau kami sebagai pihak yang benar?

Saya tidak tahu. Saya bahkan tidak tahu apa yang sedang saya ceritakan di post  ini.

Yang saya tahu (dan sebagaimana yang selalu diajarkan Papa dan Mama) hanyalah bagaimana caranya berusaha menjadi manusia yang sebaik-baiknya, bertindak sebaik mungkin, berucap sebenar-benarnya, merasakan dan berpikir setulus-tulusnya, semua demi kebaikan dunia, masyarakat, orang-orang di sekitar, dan bagi Tuhan Sang Pencipta.

Dan ketika situasi berbalik, paling tidak menurut saya, apa yang harus saya lakukan? Saya tidak tahu. Apa yang harus saya ucapkan? Saya tidak tahu. Bahkan saya tidak berani memikirkannya. Sekali saya menilai salah tindakan, ucapan, dan pikiran mereka, lalu … apa bedanya saya dengan mereka?

Pertanyaan berikutnya … lalu apakah kita diharuskan tidak berpikir, bertindak, dan berucap sesuatu karena ketidak tahuan kita? Saya tidak tahu. 

Ini doa saya hari ini …

image

Amien …

 

 

*dunkin donuts – Plaza Marina

9 Jan 2012

ANAK JALANAN

Anak jalanan kumbang metropolitan

Selalu ramai dalam kesepian

Anak jalanan korban kemunafikan

Selalu kesepian di keramaian

 

Tiada tempat untuk mengadu

tempat mencurahkan isi kalbu

Cinta kasih dari ayah dan ibu

Hanyalah perih yang palsu

 

Anak perawan kembang metropolitan

Selalu resah dalam penantian

Anak perawan korban keadaan

Selalu menanti dalam keresahan

 

Tiada restu untuk bertemu

Untuk menjalin hidup bersatu

Kasih sayang dari ayah dan bunda

Hanyalah adab semata

 

Anak gedongan lambang metropolitan

Menuntut hidup alam kedamaian

Anak gedongan korban kesibukan

Hidup gelisah dalam keramaian

 

Tiada waktu untuk bertemu

Waktu berkasihan dan mengadu

Karena orang tua metropolitan

Hanyalah budak kesibukan

 

Anak jalanan metropolitan …

Anak jalanan metropolitan …

Anak jalanan metropolitan …

 

 

~ artist : Chrisye … ~

*Seumur-umur denger lagu ini, baru kali ini memahami liriknya yang kena banget … plus … video klip versi Sandhy Shandoro yang asli … tipikal perkotaan di belahan dunia manapun. Dan merasa miris ketika keluar line “… budak kesibukan … “. Itu saya!!! Sok sibuk sejak pindah kerja di Surabaya …