22 Mei 2011

ME TIME : Toko Buku


Library Cafe - Gramex, Surabaya
Secara judul post kedua tentang 'Me Time' kali ini, rasanya tidak perlu panjang lebar dijelaskan apa yang selanjutnya terjadi. Toko buku. Sebut saja beberapa merk atau nama toko buku di Indonesia, tempat yang satu ini memang paling membuat betah untuk ukuran penikmat karya tulisan semacam saya. Kalau dibayangkan saya punya banyak uang untuk membeli beberapa buku, maka anda salah. Hehehe. Saya adalah salah satu model penikmat karya tulis yang agak licik. Rela menempuh puluhan kilo menuju toko buku hanya untuk membaca. Ritual yang biasa saya lakukan di toko buku umumnya diawali dengan melakukan screening buku terbaru atau biasa yang disebut dengan new release. Buku-buku ini biasanya terpajang pada meja pajang dekat pintu masuk toko buku. Tapi sekali lagi, saya adalah contoh pembaca yang punya kebiasaan aneh. Bukannya dengan segera membaca sinopsis atau ringkasan cerita buku-buku terbaru, saya justru segera meninggalkan meja pajang terdepan tersebut dan memulai ritual selanjutnya, berkeliling dari ujung hingga ujung toko buku. Bukan tidak mungkin saya bersedia berdiri selama beberapa menit di setiap rak dan meja pajang hanya untuk sekedar membaca singkat ringkasan cerita yang terdapat pada bagian belakang buku. Jadi jangan heran kalau mendapati saya bisa berjam-jam berada di toko buku. Bagian prosesi di toko buku yang paling membahagiakan saya adalah ketika menemukan buku bagus pada rak terpencil, terbelakang, terujung, paling atas, dan tersembunyi.

Saya percaya pada prinsip don't judge book by its expiration. Buku lama cetakan terakhir dengan kondisi mulai berubah warna kekuningan, dan beraroma lapuk, tidak menjamin keusangan jalan cerita yang tidak sesuai dengan kondisi saat ini alias basi. Beberapa buku dengan tema atau jalan cerita tertentu ada kalanya memang terasa kukona-annya sehingga membuat orang malas untuk membaca pada era yang berbeda. Namun, sebaliknya, pada beberapa buku tertentu, semakin usang justru semakin menarik dan diburu. Bukan sekali atau dua kali saya menjadi book hunter dan mendapati saya tidak mendapatkan apa-apa atau bertangan kosong saking usangnya buku itu. Buku usang yang pertama saya baca berjudul Zoya, kalau tidak salah. Saya harus berterima kasih pada guru Bahasa Indonesia jaman saya SMU, Pak Suparta, yang rajin membuat anak muridnya kebingungan dengan tugas-tugas kesastraan yang agak ajaib untuk ukuran era kala itu. Perlu juga berterima kasih pada Mira Lesmana, Rudi Sudjarwo, Dian Sastrowardoyo, Nicholas Syahputra yang bersamaan dengan tugas-tugas sekolah Pak Parta, begitu kami biasa menyapa beliau, muncul dengan kutipan-kutipan puisi karya Chairil Anwar, berjudul Aku, dan menjadi tren ABG ketika itu, dan membuat Pak Parta menjadi. Tuntutan tugas membacakan sebuah karya puisi didepan siswa kelas lain, termasuk dihadapan kakak-kakak kelas yang aduhai membuat bulu kuduk berdiri, membuat kami semua harus menyatroni Gramedia, toko buku bekas, dan perpustakaan umum kota hanya untuk memperoleh sebuah karya puisi yang paling pas menurut kita, karena tuntutan Pak Parta yang tidak membolehkan kami mengambil karya puisi yang sama. Dan di perpustakaan umum kota Surabaya itulah mata saya terpaku pada Zoya. Novel romansa berlatar situasi kehidupan awal abad 19 yang entah salah atau sengaja diletakkan asal pada rak yang tidak seharusnya oleh pembaca sebelumnya, tepat diantara tumpukan buku-buku karya sastra Indonesia angkatan 60. Pengalaman kali pertama yang membuat saya jatuh cinta pada karya-karya usang. Dan semenjak itu kebiasaan mencari buku-buku pada rak tersembunyi muncul.

Kicau Kacau by Indra Herlambang -
Pancake & Bowl Hot Choco by Library Cafe
Hasil dari kebiasaan tersebut berlangsung hingga sekarang dan menghasilkan buku-buku yang memang harus dengan bangga saya akui 'the most wanted to borrowed' oleh teman-teman saya. Hehehe. Sebut saja, novel The Godfather, 5 cm, Q&A (novel yang kemudian difilmkan dengan judul Slumdog Millionaire), Omerta, The Sicilian, yang meski beberapa diantara cetak ulang, ketika itu cukup langka. Seri cerita mafia karangan Mario Puzo (The Godfather, Omerta, The Sicilian), contohnya. Saya peroleh serba tidak sengaja. Terkecuali The Sicilian memang belum pernah saya temui novel cetak ulangnya hingga kini. Terakhir kali saya melihat kira-kira 6 tahun yang lalu pada diujung atas rak novel Gramedia Matos, Malang. Kenapa tidak terbeli, sebut saja akibat jaman jahiliyah anak kos yang memang hidupnya tergantung oleh kiriman orang tua hehehe. Dan baru beberapa bulan yang lalu saya jumpai pada Gramedia Manyar, Surabaya, pada meja pajang buku-buku diskon. Serasa anak kecil mendapat PS portable saya ketika itu. Lain cerita dengan novel Q&A, yang saya temukan pada Gramedia Matos, Malang, pada rak terujung bagian novel, tanpa sengaja. Tanpa mengetahui akan menjadi sebuah cerita best seller dan mendapat penghargaan di dunia perfilman dunia, untung-untungan saja saya membeli novel itu. Dan setelah membandingkan antara buku dan filmnya, jelas tidak bisa dibandingkan karena keduanya merupakan karya seni yang berbeda media penyampaiannya. Harus saya katakan versi novel jauh lebih mengena dan dramatis ketimbang versi film, tanpa mengurangi nilai seni layar lebar yang juga patut diacungi jempol.

Setiap buku punya cerita, dan setiap buku punya cerita juga dibalik niat saya memperolehnya. Begitu pula dengan prosesi 'Me Time' kali itu. Karena begitu cinta dengan toko buku, meskipun dilakukan berjuta kali, aroma toko buku yang khas akan tetap jadi list numero uno saya kala Me Time. Sebuah hari ditengah bulan April, sabtu, pukul 14.00 wib, memutuskan untuk sambang Gramedia Gramex (Basuki Rahmat), Surabaya. Lagi-lagi karena merasa harinya anak muda untuk eksis tapi apa daya tidak berkawan, jadilah tujuan toko buku Indonesia punya tersebut jadi jujugan. Ritual tetap dilaksanakan, dan setelah kurang lebih 1,5 jam menghabiskan waktu membaca buku gratis, memutuskan membeli sebuah buku new release karya anak bangsa yang memang sempat sold out selama beberapa minggu sebelumnya. Indra Herlambang, presenter infotainment televisi menulis sebuah buku berjudul Kicau Kacau. Niat memilih karya tersebut sebenarnya juga karena rasa penasaran. Presenter acara gosip televisi menulis buku, lalu sold out??? Harus dikonfirmasi sendiri apa yang tertuang didalam buku tersebut.

Ritual Me Time kala itu menjadi lebih sempurna karena keberadaa Library Cafe yang terletak pada lantai yang sama dengan lokasi Gramedia. Bagi warga Surabaya bukan hal baru tempat nongkrong yang satu ini. Dengan menu ala cafe, sebut saja beberapa macam kopi, minuman, dan makanan, serta spot kafe yang terlindung penuh oleh kaca, cukup membuat saya betah menghabiskan seperempat buku Indra Herlambang yang saya beli. Singkat kata, ritual Me Time versi toko buku ini bisa diawali dengan membeli buku baru atau membawa buku yang kita miliki, lalu menuju sebuah tempat nongkrong yang tidak terlalu ramai dan cukup nyaman, hanya untuk membaca. Rasanya memang sesuai dengan konsep 'Library Cafe' Gramex, Surabaya, sehingga waktu 2,5 jam yang saya habiskan disana hanya untuk membaca dan sekedar icip-icip makanan mereka terasa tidak sia-sia. Tidak ada pengusiran halus ala restoran atau kafe karena kita sekedar menghabiskan waktu berjam-jam dan hanya memesan sedikit produk mereka. Ditambah lagi dengan spot yang cukup nyaman, bukan tidak mungkin saya mampu menghabiskan waktu lebih lama. Buku, semangkuk (bukan segelas, dari segi ukuran cukup unik) minuman cokelat panas, pancake topping ice cream, situasi kafe yang cukup nyaman, tidak terlalu ramai, dan visualisasi keramaian metropolitan jadi pelengkap Me Time yang menyempurnakan. Berasa Carrie Bradshaw di serial Sex and the city.

Total Me Time versi toko buku kali itu menghabiskan waktu kurang lebih 4 jam. Dan saya memutuskan mengakhiri karena melihat situasi lalu lintas yang mulai ramai, maklum malam minggu, untuk segera kembali ke rumah yang terletak di pinggiran Kota Surabaya. Melainkan menghabiskan waktu dengan pergi ke Mall atau tempat lain, entah kenapa sehari itu rasanya sempurna dan kemudian mengirim pesan bbm grup menyarankan teman untuk melakukan hal yang sama. Tentunya tidak harus Gramedia dan Library Cafe sebagai tujuan Me Time sempurna tersebut. Toko buku andalan atau bahkan perpustakaan umum kota serta tempat nongkrong lain juga bisa jadi alternatif atau opsi.. Apa dan mana saja yang penting prinsip kenyamanan nomer satu.

Oya, terakhir, buku Indra Herlambang yang melengkapi Me Time itu, cukup saya apresiasi. Bukan sebuah karya tulisan wah atau spesial, melainkan cukup bisa mengusik kemanusiawian kita, membuat tersenyum, dengan membayangkan Indra Herlambang sedang mereka ulang kejadian-kejadian yang ditulisnya. Membaca tulisan Indra Herlambang serasa mendengarkan ia sedang berbicara di hadapan kita dan cukup membuat saya untuk tidak lagi meremehkan manusia satu ini. Maafkan ya, Mas Indra, sebetulnya saya selama ini agak meremehkan anda yang 'cuma' presenter acara gosip. Saya salah. Anda lebih dari itu. Ternyata. Dan harus saya akui, I'm in love with you. Hihihi.




Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dear Rika & friends ...