28 Feb 2011

RUANG #galau … ???!!!

Suka kurang paham dengan istilah-istilah yang belakangan sering bermunculan di social network kita? Saya juga. Dari 24 jam saya hidup setiap harinya, alhamdulillah, tidak mau munafik ada kalanya 24 jam itu pula saya ‘beredar’ di dunia maya instead of dunia nyata. Apalagi kalau setiap weekend. Di hari normal, meskipun saya sebagai ‘jobless’, lebih dari 5 jam saya habiskan waktu didepan laptop atau blackberry hanya untuk sekedar berbalas sapa dengan teman-teman, update status, komentar sana sini, dan kegiatan utama terlebih lagi browse lowongan pekerjaan.

Itu kenapa laptop, modem, dan blackberry tidak pernah jauh dari tempat tidur. Kalau perlu ada persis disebelah kepala. Bad habbit yah … jangan ditiru. Bangun tidur tidak lagi ‘kuterus mandi’, tapi ‘kuterus online’. Blackberry pun dengan mudah teraih dan otomatis membuka aplikasi social network yang seperti kebanyakan orang juga memiliki. Ubber Social (dahulu Ubber Twitter), Social Scope (pengganti aplikasi Facebook for Blackberry), folder email (yang hampir setiap hari muncul notifikasi email baru tentang lowongan pekerjaan), dan sesekali Instant messaging seperti Blackberry Messenger atau Yahoo Messenger jika ada notifikasi. Kalau sudah begitu, bisa dipastikan sekali lagi 30 menit pertama setelah bangun tidur pasti tidak akan langsung turun dari tempat tidur. Olahraga jari, jempol terutama. Dan selanjutnya, suara ringtone notifikasi social network pun rasanya jauh lebih dinanti-nanti ketimbang ringtone notifikasi SMS atau telepon.
Mungkin memang harus begitu yah bagian dari evolusi manusia. Evolusi ‘kecanggihan’ hasil olah otak manusia. Semakin ‘kesini’, semakin canggih, dan bukan tidak mungkin dunia kita di masa depan akan persis seperti yang terjadi di film “Wall E”. Pada pernah nonton ‘kan? Pada bagian dimana diceritakan kehidupan manusia di masa depan tidak lagi berinteraksi secara langsung dan nyata dengan manusia lain karena teknologi telekomunikasi. Dan ketakutan saya tiba-tiba sempat muncul, karena hidup saya, tidak adil rasanya meng-generalisasi semua orang, menjadi begitu tergantung dengan gadget-gadget itu. Semakin menjadi ketakutan ketika merasa semua social network itu menjadi terlalu melanggar ruang privasi saya, oleh diri saya sendiri tentunya. Ruang ‘hati’ dan beberapa ‘telinga’ para sahabat atau keluarga pun mendadak menjadi tidak cukup lagi. Dan social network menjadi pilihan. Everything suddenly become a drama. Social network menjadi “ruang galau” bagi sebagian orang.

Pada satu titik saya menjadi begitu muak melihat timeline atau news feed yang menunjukkan status terkini (update status) dari friend list akun jejaring sosial yang saya ikuti. Dalam hal ini Twitter dan Facebook. Semua menjadi begitu personal, terlalu intim, hingga hal-hal yang bersifat privasi pun muncul ke permukaan. Termasuk saya. Untuk hal-hal yang seharusnya bukan untuk konsumsi publik pun sangat memungkinkan menjadi konsumsi khalayak ramai. Saya rasa cukup dengan memasang relationship status dan memajang beberapa album foto bersama pacar atau pasangan sudah menjelaskan siapa dan bagaimana bahagianya Anda bersama pasangan. Tapi dengan membuat kalimat status terkini yang diperuntukkan khusus bagi pasangan sepanjang waktu dan bukan untuk sesuatu yang cukup ‘penting’, it’s just so not cool. Batas antara ruang privasi dan ruang publik menjadi abu-abu. Karena setiap kita hanya dapat membuat kalimat status terkini pada akun pribadi kita yang berarti ruang privat kita, tapi menjadi tidak privat ketika orang ketiga, keempat, keseratus, keseribu menjadi pengamat dan ‘diperbolehkan’ untuk berkomentar yang berarti juga menjadi ruang publik. Dan hanya dari satu akun pribadi membuat kita merasa lebih mengenal dengan baik orang lain hanya dengan melihat foto, sekilas info pribadi, komentar teman, dan status-status terkini yang kita buat untuk menggambarkan apa yang sedang kita rasakan dan lakukan terkini. Padahal tidak.

Karena alasan itulah saya sempat meng-deactivate akun Facebook saya selama beberapa waktu. Ruang privasi saya rasanya menjadi terlalu ‘publik’. Dan begitu sebaliknya, saya sedang tidak ingin tahu begitu banyak informasi mengenai kehidupan orang lain. Meskipun untuk waktu yang tidak lama tapi cukup memunculkan komentar dari salah seorang sahabat yang mengirim SMS ke ponsel saya dan mengatakan,”I miss you. No longer heard you. Dan semakin tidak terlacak hidupmu di Facebook,”. Yess … ini yang saya inginkan. Mengembalikan ruang privasi dan intimasi melalui SMS, telepon, atau kalau perlu kita ketemu. Dan memang begitu seharusnya karena tidak lama kemudian saya menelepon sahabat dan sahabat memutuskan agar kami berdua hangout pada waktu yang kami sepakati, mengingat si Sahabat sudah menikah dan memiliki baby yang masih ASI. Terasa sedikit ribet memang iya, tapi tidak juga, karena lebih humanis. Kodrat kita sebagai manusia salah satunya adalah untuk bersosialisasi karena kita makhluk sosial. Kita ada karena manusia lain. Dan sementara mengurangi publisitas ruang privat saya, akun Twitter yang sebelumnya tidak terlalu dilirik menjadi salah satu alternatif ruang untuk eksistensi diri sebagai anak muda dalam berteknologi. Cukup puas dengan Twitter yang tidak terlalu privasi, karena hanya berupa tampilan status terkini orang-orang yang saya follow dan lalu ‘hilang’ begitu saja secara cepat oleh tampilan status yang lain, tidak hanya orang-orang yang saya follow tapi juga orang-orang lain yang di-follow oleh orang-orang yang saya follow. Nah lo … bingung kagak ‘tuh?? Kalau saya ibaratkan mungkin seperti headline berita pada koran-koran online yang tiap detik, menit dan jam berganti. Akun Twitter menjadi ruang galau alternatif yang lebih baik (menurut saya). Mungkin lebih sebagai ‘recycle bin’ singkat bagi beberapa orang yang ingin ‘nyampah’ dan tidak perlu dikomentari, meskipun tetap saja mampu menarik orang lain untuk berkomentar. Dan setelah beberapa saya ikuti social network will be a social network. Seringnya membaca timeline orang-orang yang saya follow, meski untuk beberapa hal cukup positif untuk update tren terkini, mendadak menjadi tidak seru lagi. Membaca begitu banyak galau-an orang-orang yang saya rasa itu bukan urusan saya.

Hingga pada akhirnya saya merasakan tidak adil rasanya jika saya menutup akun social network yang sudah bertahun-tahun saya jalin, dan tidak ingin dibilang orang primitif yang mem-block habis-habisan teknologi hanya untuk masalah se-sepele ‘galau’. Mencoba melihat sisi positif yang bisa saya dapatkan di kedua akun social network yang saya miliki, dan memutuskan untuk mengaktifkan kembali akun Facebook saya dengan komitmen terhadap diri saya untuk tidak terlalu banyak membuat status terkini dengan maksud untuk meminimalisir orang berkomentar, membuat status terkini yang lucu-lucu sehingga menarik komentar pun untuk sekedar menertawakan atau sepintas lalu, memanfaatkan fitur Message untuk hal-hal yang bersifat benar-benar privat (saya sudah melakukan hal ini dengan membuat Message khusus yang saya tujukan untuk beberapa sahabat dalam message yang sama sehingga informasi privat mengenai saya dan teman-teman tidak kemana-mana), dan sebisa mungkin memberikan info yang cukup berguna bagi orang-orang yang ‘membaca’ saya. Sedangkan, untuk akun Twitter saya memutuskan untuk meng-unfollow akun-akun artis, pejabat, atau orang-orang yang sekiranya tidak bisa memberikan cukup info bagi saya. Singkatnya, timeline akun Twitter saya hanya berisi teman-teman, akun info kedua kota yang sering saya kunjungi (Surabaya dan Malang), akun komunitas tertentu yang lagi-lagi bisa memberikan manfaat informasi dan pengetahuan. Pilihan-pilihan tersebut didasari pada kebutuhan silaturahmi dengan teman-teman dan keluarga, kemudian akun info kota yang cukup bisa memberikan informasi mengenai kondisi cuaca, tempat, lokasi, atau informasi lain terkait kedua kota, akun-akun komunitas terkait latar belakang pendidikan saya sebagai sarjana planologi bisa memberikan update serta perkembangan terbaru tentang perencanaan tata kota/wilayah, dan akun-akun beberapa tokoh yang sekedar untuk infotainment semata.

Dan saya merasa jauh lebih ‘sehat’ saat ini. When the less is more.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dear Rika & friends ...