Tag line ini semata-mata untuk memotivasi sebagian besar orang untuk menemukan kembali semangat, spirit, dan mengembalikan tujuan utama hidup mereka. Khususnya dalam hal pekerjaan. Banyak pengalaman dan cerita dari beberapa teman yang disatu masa akan merasa jenuh dengan rutinitas pekerjaan mereka yang itu-itu saja. Pada masa dimana mereka akan merasa pekerjaan atau apa yang mereka lakukan saat itu bukanlah yang sesungguhnya ingin mereka lakukan. Based on apa yang pernah saya dengar, kebanyakan dari mereka menerima pekerjaan itu karena tuntutan hidup, perut, dan status sosial yang membuat mereka menjadi terkesan ‘asal’ dalam meng-iya-kan tawaran pekerjaan, atau ketika mengirimkan lamaran pekerjaan. Tidak adil rasanya kalau saya menjadikan cerita teman-teman saya sebagai ‘subjek’ utama topik post kali ini, maka saya juga akan mengatakan “saya termasuk diantara mereka yang memiliki alasan tersebut dalam melamar pekerjaan”.LOVE WHAT YOU DO, DO WHAT YOU LOVE
Semua pemikiran (atau pertanyaan lebih tepatnya) ini muncul baru saja beberapa menit yang lalu, ketika saya asik memasukkan biodata, pengalaman kerja, cv, dan resume pada salah satu lowongan pekerjaan perusahaan oil yang sebetulnya tidak diperuntukkan bagi lulusan sarjana dengan latar belakang pendidikan yang saya miliki. Dengan sedikit asumsi ‘kemiripan’ dan barangkali agak sedikit sesuai dengan apa yang saya lakukan selama ini, dan sedikit ilmu nekad ala teman-teman saya (hehe!!) maka saya menjadi salah satu applier-nya. Namun, semua itu semata-mata (sekali lagi) saya lakukan untuk status sosial saya. Meningkatkan derajat dan martabat dimata sosialita disekitar saya, dari anak kuliahan menjadi pekerja. Dan lagi-lagi … tuntutan perut yang harus segera dipenuhi.
Terus terang saja saya termasuk salah satu orang yang tidak pilih-pilih dalam mengirimkan surat lamaran dan curriculum vitae untuk suatu lowongan pekerjaan. Apapun selama itu membutuhkan kualifikasi ‘sarjana S1 any major field’ pasti nama saya akan beredar didalamnya. Paling tidak sekarang ini, setelah hampir setahun menjadi pencari kerja. Time’s ticking so quick. Ternyata. Secara tidak saya sadari saya sudah hampir setahun menjadi ‘pengangguran’. Barangkali bukan pengangguran sepenuhnya karena pada kesempatan tertentu saya masih menjadi freelance untuk beberapa pekerjaan. Pada awalnya saya memilah dan cenderung picky dalam mengirimkan surat lamaran. Selama bisa sesuai dengan latar belakang pendidikan itu yang akan saya pilih. Kalaupun terpaksa ‘melenceng’ dari keilmuan saya, apa boleh buat, tapi tetap akan memilih yang setidaknya dengan gaji lumayan. Setahun kemudian pandangan saya mulai sedikit beralih. Bahkan, pada titik terendah saya akan mampu mengatakan (dalam hati),"Jadi tukang angkat telepon ayo deh … “ (maaf sebelumnya, tanpa bermaksud merendahkan pekerjaan tersebut). Sebulan belakangan, lowongan sebagai sekretaris pun selama yang dicari adalah ‘sarjana S1 any major field’ juga menjadi sasaran saya. Dengan sedikit motifasi tentunya kalau pekerjaan apapun itu yang penting halal. Mendadak saya bukan lagi orang yang picky atau selektif memasukkan lowongan pekerjaan. Dan seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya.
Menjadi sangat irritating ketika setiap kali saya membaca timeline akun twitter saya sering sekali saya mendapatkan status yang bermunculan tentang betapa bosannya rutinitas dan menumpuknya pekerjaan. Dan berujung pada munculnya kalimat,”betapa malasanya bekerja hari ini”. Sangat menyebalkan bagi saya yang begitu sangat menginginkan pekerjaan (apapun itu) lalu menjadi orang ketiga atau pengamat kehidupan orang disekitar yang bekerja dan mendapati mereka tidak ‘menginginkan’ rutinitas itu. Sebuah spirit dan energi negatif setiap kali saya membuka akun twitter (juga facebook) saya dan kerap kali saya meng-sign out akun jejaring sosial di Blackberry yang memang ter-push on sehingga setiap kali update terbaru dari teman-teman bisa langsung saya ketahui. Dan mendadak … saya marah. Tidak terima. Menuduh mereka semua adalah orang-orang yang tidak pernah bersyukur atas apa yang mereka dapatkan hingga detik ini.
Sebegitu membosankannya kah rutinitas pekerjaan mereka? Beberapa teman yang mencoba melihat sisi positif dari, saya sebut, keluhan-keluhan mereka sebagai bentuk yang memang akan terjadi sekalipun nanti saya bekerja. Apa iya? Dan ujung-ujungnya akan muncul tag line LOVE WHAT YOU DO, DO WHAT YOU LOVE. Atau kalau bukan tag line itu, muncul sebuah kalimat,”Makanya, ntar kalau kamu cari kerja, Rik, cari yang memang kamu suka,”. Cuma bisa ketawa getir dengarnya. Pertanyaan yang muncul kemudian, kalau memang begitu yang seharusnya kita lakukan, well … then don’t do it. Jangan terima pekerjaan itu. Lebih baik menganggur ‘kan (dengan asumsi menyingkirkan sementara kebutuhan status sosial dan tuntutan perut yang terus mengejar)?!
Perpanjangan dari tag line itu kemudian menjadi, WHAT YOU DO DEFINES WHO YOU ARE or WHAT YOU DO DEFINES WHO YOU ARE. Itu kenapa we must LOVE WHAT WE DO, AND DO WHAT WE LOVE, karena kesemuanya mencerminkan diri kita sesungguhnya. Is it?? Kenapa jadi lebih rempong (read : repot) yah … sebegitunya sampai-sampai harus dikaitkan dengan siapa kita sebenarnya untuk melakukan yang sesuai dengan kita?? Kalau ada yang pernah nonton film ‘Across the universe’, pasti pernah dengar tag line kedua. Sebuah kalimat yang muncul ditengah perdebatan ayah dan anak tentang apa yang ingin dilakukan oleh sang anak dalam hidupnya. Namun, saya lebih suka pada tag line ketiga yang muncul ditengah-tengah konflik tersebut, it’s not what you do or who you are but it’s all about the way you do. Yess … saya lebih percaya ‘bagaimana’ kita melakukan sesuatu adalah kunci yang sebenarnya. Even for something that we don’t love to do. Do the right way berarti kita melakukan sesuatu yang maksimal yang bisa kita lakukan demi suatu tujuan yang seharusnya untuk dicapai. Dan ketika kita sudah melakukan yang seharusnya kita lakukan perlahan dan sebuah jaminan kepastian akan apa yang kita cintai akan menunjukkan siapa kita sebenarnya, dan semua tujuan atau cita-cita akhirnya bakal terwujud.
Tag line manapun yang menjadi acuan hidup setiap kita tidak menjadi masalah. Ini hanya masalah selera dan keyakinan masing-masing. Karena pada akhirnya semua kembali kepada tujuan akhir setiap kita. Apapun caranya disadari atau tidak kita akan berjalan pada jalan yang paling sesuai untuk kita. Automatically.
How about you, guys? What’s your tag?
Hay Rika ^_^
BalasHapusMembaca tulisanmu ini, mengingatkanku pada pengalaman2 selama menyandang status Fresh graduate ... Sama !! Idem !! Percis !!
Perasaan2 itu rasanya hampir khatam berkali2, bertemu dengan orang2 yg mengeluh ttg pekerjaannya jg sering membuatku gemmaazz.
tp ttp usaha Apply sana apply sini, dan kata pak mentorku "kirimlah lamaran sebanyak2nya sampai kamu bosan"
hehhehehe dan waktu itu aku masih bebal nglanjutin "perjuangan". Sampai suatu ketika, apa yg selama ini aku percaya & inginkan "bubar jalan" ketika bertemu dengan pak Purdy Chandra,hehhee.
Alhamdulillah, jalan hidup semakin menarik setelah itu ^_^