“Selamat siang … bisa bicara dengan Ibu C*R*S*I**?”
Dan Saya, Papa, atau Mama selalu menjawab pertanyaan itu dengan kalimat, “Siang. Disini tidak ada yang namanya C*R*S*I**”. Karena memang itu yang sebenarnya. Atau terkadang kami bertiga menjawab dengan sedikit lebih panjang dengan kalimat,”Yang namanya C*R*S*I**sudah pindah setahun lalu”. Karena memang itu pula yang sebenarnya.
Kalimat berikutnya yang muncul dan selalu seperti itu,”Jadi ini bukan rumah Ibu C*R*S*I**?” Dan jawaban kami berikutnya yang akan selalu seperti itu,”Ya bukanlah!!! Ini rumah Bapak RH". C*R*S*I**itu dulu anak kos disini”. Seketika penelepon-penelepon itu mengucapkan terima kasih lalu menutup telepon. Tapi tidak jarang alias lebih seringnya yang melanjutkan pembicaraan dengan kalimat berikut,”Bener ya ini bukan rumahnya Ibu C*R*S*I**? Jangan bohong,”.
Mmmmm … pada kalimat itulah yang selalu menaikkan emosi kami bertiga PEMILIK RUMAH dan menaikkan nada suara yang semula normal.
***
C*R*S*I**. Semenjak kepindahannya hampir setahun yang lalu dari kediaman kami karena dia memang tinggal di kediaman kami sebagai anak kost, nama itu selalu menjadi target pencarian beberapa pihak bank. Apalagi kalau bukan urusan aplikasi kartu kredit dan penagihan tunggakan kredit. Bukan sekali atau dua kali beberapa bank yang ‘menyatroni’ rumah kami, sampai-sampai bisa saya katakan,”Niy telepon rumah dipasang cuma buat ngladenin si C*R*S*I** niy …” yang cuma bisa disambut getir oleh Papa atau Mama. Tapi memang begitu rasanya saking seringnya.
Sedikit track record sebagai anak kost, Mbak C*R*S*I** selama tinggal dirumah memang tidak ada keluhan apapun. Malah cenderung baik, ramah, gampang akrab, dan setiap beliau kembali dari kampung halaman tidak pernah lupa membawakan kami sekeluarga oleh-oleh. Bahkan, ketika kakak saya menikah dia dan beberapa anak kost yang lain hadir. Dan saking betahnya dia tinggal di rumah kami hampir 5 tahun lebih. Terakhir kali berpamitan pindah kost karena alasan bosan, ingin mencari suasana baru, dan yang lebih dekat dengan kantornya didaerah Sidoarjo. Rumah kami di Surabaya. Tapi ternyata muncul asumsi-asumsi lain mengenai kepindahannya terkait tagihan-tagihan kartu kredit yang mulai terus muncul. Dan semenjak kepindahannya, telepon-telepon tagihan tunggakan tersebut terus bermunculan, hingga menit ini. Saya menulis ini tepat setelah saya menutup telepon dari salah satu bank untuk menagih tunggakan kartu kredit.
Ada kalanya telepon-telepon itu bernada ramah, bertanya, dan menggali informasi. Dan akan dengan sangat senang hati kami PEMILIK RUMAH akan menjelaskan mengenai siapa Mbak C*R*S*I** dan mengenai telepon tagihan-tagihan tersebut. Tapi ada kalanya pula telepon itu ‘parah’. Menjadi sangat parah karena kami PEMILIK RUMAH selalu dibilang pembohong, menyembunyikan, atau pernah suatu kali berbohong mengenai identitas PEMILIK RUMAH. Whaaatttttt???????!!!!!!! Kejadian paling parah yang pernah saya alami, salah satunya dilakukan oleh salah seorang pegawai penagihan salah satu bank, yang mengatakan dengan nada ‘tinggi’ dan emosi kalau saya berbohong, serta memasak untuk segera memanggilkan Mbak C*R*S*I** tanpa mau mendengarkan penjelasan saya. Kejadian itu terjadi kira-kira pertengahan tahun 2010 kemarin.
Penelepon : Selamat Siang, Bisa bicara dengan Ibu C*R*S*I**?
Saya : Mbak C*R*S*I**-nya sudah pindah.
Penelepon : Lho kok sudah pindah??? Mbak jangan bohong ya …
Saya : Lho kok bohong?? Saya ini yang punya rumah.
Penelepon : Dengan siapa saya berbicara?? (nada suara tinggi dan menekan)
Saya : Saya Rika. Nama ayah saya yang punya rumah Bapak RH. Ibu saya Ibu EW. Ini darimana??? (mulai emosi juga)
Penelepon : (untuk kali ini saya sebutkan sebagai bentuk protes) Dari BP. Mbak Rika jangan bohong ya bilang Ibu C*R*S*I** tidak ada ditempat. Saya baru saja ketemu dengan Bu C*R*S*I**!!!!! (bukan nada ramah layaknya customer service atau operator)
Saya : (sayangnya saya lupa menanyakan nama) Mbak, yang sopan sedikit ya?? Ini jam orang istirahat, dan mbak itu ngaku ketemu sama dia, ketemu dimana????
Penelepon : Saya bertemu Ibu C*R*S*I** dengan suaminya di rumah!!! Jl. XXXXXX no. XX surabaya kan???? (semakin tidak sopan dan mengkonfirmasi alama)
Saya : Itu memang benar rumah saya!!! Tapi dia disini cuma kost!!! Dan disini kost putri!!! Tidak menerima lelaki masuk ke rumah. Dan dia itu belum menikah!!!! (tidak kalah membentak)
Penelepon : Mbak Rika jangan bohong ya … saya itu benar-benar baru saja ketemu dengan Ibu C*R*S*I** dan suaminya juga!!!! Ini rumahnya Ibu C*R*S*I** ‘kan???
Saya : (semakin tidak terkendali) Mbak ini bego atau goblok ya … kalau Mbak benar-benar ke rumah saya, harusnya mbak ketemu saya saja karena yang ada dirumah sekarang itu cuma saya!!! Ayah saya, satu-satunya lelaki dirumah sedang pergi!!! Dan itu nempel di pager tulisan gede-gede MENERIMA KOST PUTRI!!!! Kok dibilang bohong … Ngga sopan sekali anda ini.
Penelepon : (terus memaksa) Mbak ini saya juga punya semua data-data lowh ya … alamat rumah, Kartu Keluarga, KTP dan lain sebagainya yang menunjukkan Ibu C*R*S*I** itu pemilik rumah.
Saya : Silahkan dibawa kesini sekaligus saya minta copy-nya untuk barang bukti ke polisi kalau ada orang yang palsu-palsu KK dan KTP alamat sini. Nanti saya datangkan sekalian Pak RT, RT, Lurah sekalian tetangga-tetangga satu gang buat bukti kalau dari tahun 83 yang tinggal dirumah sini itu Bapak RH!!!!!!
Lalu … saya mengakhiri pembicaraan siang itu. Aaarrrrgghhhh … !!!!! Urusan Kartu kredit bisa yah sampai ke urusan data-data administrasi begitu. Ckckckck …
Itu hanya salah satu kejadian diantara berpuluh-puluh kejadian telepon tagihan yang datang setiap hari antara jam 12 hingga 3 sore. Dan masih ada rentetan-rentetan kejadian tagihan-tagihan semacamnya. Bahkan, hingga debt collector yang datang kerumah pun pernah juga kami alami. Pria-pria berbadan besar, berotot, berjaket kulit, dengan kata-kata kasar memaksa untuk dibukakan pintu sementara Papa yang bertubuh lebih kecil bisa diperkirakan bakal ambruk dengan sekali tinju. Dan begitu pula telepon terakhir yang baru saja saya angkat. Kali ini bernada sindiran dan lagi-lagi … dibilang,”Jangan bohong ya??”. Oh my … orang-orang bank ini bego, tidak sopan, atau apa siy???
Ini yang saya coba katakan.
- Begitukah cara penagihan pihak bank melalui telepon? Karena itu tidak hanya terjadi oleh bank yang saya sebutkan diatas, Bank Mandiri, Bank BNI, Bank HSBC, Bank Permata, dan bank-bank lain sudah pernah ‘menyatroni’ kami dengan nada yang sama.
- Berdasarkan info dari salah satu penagih yang baik hati pula, saya sebutkan juga sebagai bentuk reward pelayanan yang oke, salah seorang penagih dari Bank Mandiri pernah menjelaskan kalau nama tersebut memang menjadi blacklist perbankan karena tunggakan-tunggakan yang mencapai nilai fantastis. 28 juta rupiah pada Bank A, 17 juta rupiah pada Bank B, dan 8 juta rupiah pada Bank C. Itu hanya 3 bank yang tersebut diantara bank-bank yang pernah ‘menyatroni’ kami. Pertanyaannya, kalau sudah di-black list begitu, kok ya masih ada penagihan melalui telepon ke kami yah??? Apa itu berarti pihak bank masih memberikan approval pengajuan aplikasi kartu kredit atas nama Christine? Kalau iya, ‘kan sudah ‘dihitamkan’?? Kenapa ‘diputihkan’ (read : diijinkan) ? Dari penelepon tersebut pula kami jadi mengerti pengajuan kredit yang dilakukan Mbak C*R*S*I** untuk membeli sepeda motor. Dan menunggak. Mbak C*R*S*I** memberikan nama dan alamat kami, kali ini mengaku sebagai kediaman sepupu/keluarga. Sementara kantor tempat terakhir dia bekerja bukanlah pekerjaan tetapnya melainkan hanya pegawai magang, dan ketika penagih mendatangi kantornya Mbak C*R*S*I** sudah tidak lagi bekerja disana. “Rupanya dia apply (kartu kredit) pakai slip gaji dia disana, mbak rika”, begitu kata penelepon.
- Sekedar saran bagi teman-teman yang memang bekerja memasarkan promo kartu kredit, mbok ya sekali-kali itu kami yang memiliki alamat itu dikonfirmasi. Paling tidak nomer telepon rumah itu juga dikonfirmasi. Bukankah setiap aplikasi kartu kredit memang memerlukan konfirmasi pihak ketiga sebagai jaminan keamanan dan kebenaran peng-aplikan? Karena sebelumnya (sebagai bentuk reward telah meng-konfirm kami), pernah salah satu bank menelepon kerumah untuk mengkonfirmasi Papa terkait aplikasi kartu kredit kakak yang berdomisili di Jakarta. Kalau tidak salah, Bank HSBC. Kenapa dari sebegitu banyak bank yang meng-approve aplikasi kartu kredit atas nama C*R*S*I** itu tidak ada satupun yang mengkonfirmasi melalui nomer telepon kami? Seakan-akan pihak bank memang hanya mengejar target aplikan kartu kredit untuk meningkatkan keuntungan. Tapi ujung-ujungnya bagian penagihan-lah yang ketiban ‘untung’ terkait nasabah-nasabah seperti ini.
- Last but not least, black list never been a blackened list. Buktinya hingga sekarang masih ada telepon-telepon yang menagih. Kalau benar-benar ‘dihitamkan’, harusnya tidak perlu lagi ada telepon-telepon mengganggu seperti sebelumnya, dengan asumsi setiap yang menjadi black list salah satu bank akan menjadi black list seluruh bank otomatis tidak akan pernah disetujui aplikasinya.
- Sekedar saran lagi bagi para pemilik kost, lebih baik hindari memberikan nomer telepon rumah ke anak kost atau kalau terpaksa bersiaplah menerima telepon yang sama :)
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menjelekkan salah satu pihak, baik pihak bank yang sudah tersebut oleh saya maupun ‘mempersulit’ hidup Mbak C*R*S*I**, melainkan semata-mata untuk menjelaskan kejadian yang kami alami sebagai pihak ketiga yang tidak tersangkut paut dan betapa terganggunya kami. Dan sekaligus saya berniat ‘membantu’ pihak bank melalui tulisan ini untuk mengkonfirmasi kembali nasabah-nasabah anda yang sedang mengajukan aplikasi kartu kredit khususnya yang bernama dengan inisial tersebut. Saya kira saya cukup terbuka untuk dikonfirmasi by email.
(Dan tidak lama kemudian kembali telepon berdering … dengan hal yang sama, situasi yang sama, tapi dengan orang yang dicari berbeda. Eks anak kost yang juga sudah setahun lalu pindah … hedeeeee)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dear Rika & friends ...