Mungkin tulisan saya kali ini adalah tulisan kesekian milyar kali nya topik ini diangkat. Dan apa yang pernah dialami oleh setiap pengguna moda transportasi pesawat udara. Kalau boleh saya curhat, entah ada apa dengan maskapai penerbangan di Indonesia. Atau barangkali memang begitu setiap maskapai penerbangan di dunia?
Kejadian berawal beberapa hari yang lalu ketika saya harus menempuh rute penerbangan Banjarmasin – Surabaya menggunakan salah satu maskapai penerbangan yang biasa saya gunakan dan saya percayai. Jadwal penerbangan yang semula dijadwalkan pukul 20.20 WITA. Pukul 18.00 WITA tepat saya melakukan perjalanan menuju bandara sengaja melakukan hal tersebut mengingat perjalanan yang memang cukup jauh dan pengalaman terlambat check in oleh maskapai penerbangan yang lain. Dan mengingat harga tiket pesawat yang memang agak sedikit mahal dibandingkan harga normalnya karena memang saya harus melakukan perjalanan secara mendadak, tentunya kejadian terlambat lapor tidak akan saya ulangi. Cuma keledai yang melakukan kesalahan kedua kali. Saya bukan keledai.
Semua lancar saja selama perjalanan antara kantor menuju bandara hingga sebuah SMS masuk ke Blackberry saya. Dari maskapai penerbangan tersebut. Penerbangan tertunda selama kurang lebih 45 menit yang semula 20.20 WITA menjadi 21.15 WITA. Tidak menjadi masalah karena saya memang tidak tergesa untuk sampai di Surabaya. Mulai meningkat kadar ketidak sabaran saya ketika sampai di loket check in maskapai yang bersangkutan, menanyakan kembali jam keberangkatan, lalu dijawab demikian,”Maaf, Ibu, ada keterlambatan kembali pesawatnya. Jadi pukl 22.00 WITA berangkatnya,”. Hmmm … apa mau dikata saya cuma menghela nafas dan lalu mencari spot tunggu yang memang nyaman. Speed jalan yang semula 60 km/jam (ibarat kata) saya perlambat menjadi 35 km/jam sambil sesekali mampir ke deretan toko yang ada didalam bandara Samsudin Noor meski tidak untuk membeli sesuatu selain sebotol air minum.
Kesabaran semakin meningkat ketika rute penerbangan lain sudah semakin berkurang, hari semakin malam, rasa lelah mulai datang. Duduk di ruang tunggu bandara ternyata menjadi salah satu aktifitas yang membosankan. Saya baru tahu. Pukul 21.00 WITA deretan pertokoan di dalam bandara Samsudin Noor mulai tutup. Stok air minum dan camilan harus cukup untuk sejam kemudian. Snack andalan sehari-hari sudah dibeli tepat sebelum salah satu toko penjual cinderamata tutup dan tepat ketika pengumuman kepada kami, para penumpang maskapai penerbangan terkait untuk mengambil konsumsi makan malam sebagai kompensasi akibat keterlambatan yang entah kenapa bisa terjadi. Berbondong-bondong kesabaran seluruh penumpang malam itu sedikit terobati walaupun memang waktu yang terbuang tidak bisa digantikan apalagi oleh sekotak nasi goreng. Yup … malam itu makan malam kami ‘hanya’ sekotak nasi goreng, yang saya yakin hanya nasi goreng gerobak atau warung terdekat hanya saja dengan packaging kotak sederhana tanpa cap nama sekelas kotak makanan standar restaurant atau tempat makan yang setara dengan kami yang ‘mampu’ membeli tiket penerbangan dengan harga yang lebih. Bukankah pesawat merupakan barang ‘mahal’ dan sudah menjadi wajar kalau para penumpang mendapat kompensasi, fasilitas, atau apapun namanya yang setara dengan apa yang kami sudah keluarkan?
Antrian mengambil kompensasi makan malam terjadi cukup tertib, meski saya yang mulai kelelahan tidak setuju dengan apa yang mereka lakukan. Sudah seharusnya mereka yang mengantarkan satu per satu makanan tersebut kepada kami, dan bukan kami yang harus mengantri. Cukup layak kok makanan yang diberikan seperti yang saya jelaskan sebelumnya. Celetukan para penumpang yang menanyakan kapan pesawat datang mulai dijawab oleh para petugas yang sebelumnya tidak terlihat di sekitar ruang tunggu penumpang. Oya … kesalahan kedua oleh maskapai penerbangan tersebut dengan tidak terlihat disekitar ruang tunggu penumpang dan menyebabkan para penumpang malas menanyakan kejelasan nasib setiap penumpang karena harus naik turun tangga mencari para petugas. Kesalahan ketiga (menurut saya) kembali terjadi ketika salah seorang petugas membagi kotak makan malam kami kepada salah seorang ibu separuh baya yang menggendong bayi. Petugas lalu mengatakan,”Maaf, Ibu, Adeknya ngga dapat makan ya bu, hanya penumpang dewasa atau ibunya yang dapat,”. Dan dijawab dengan sederhana oleh sang nenek atau ibu tersebut demikian,”Iya ngga apa-apa, wong bayinya ndak bayar pesawat. Ibunya juga ndak laper kok mas,”.
Saya hanya tersenyum mendengar ibu tersebut yang berdiri di depan saya lalu tersenyum kepada saya ketika keluar dari antrian. Sebuah kebijakan yang saya tidak paham darimana atau siapa yang menetapkan. Internasional ‘kah? Atau sekali lagi hanya ada di Indonesia? Mendadak rasa lapar saya atau hasrat untuk mengisi perut saya semakin berkurang mendengar pernyataan petugas tersebut.
Begitu banyak pertanyaan “kenapa begitu?” “kenapa begini?” atau “Haruskan seperti itu?” langsung bermunculan di otak. Saya yang terhitung sebagai manusia dewasa saja bisa kelaparan apalagi bayi?? Teringat celetukan jawaban sang nenek mengenai bayi yang tidak membayar tiket pesawat, well … jangan-jangan memang begitu alasan kenapa sang bayi tidak kebagian jatah makan malam. Tidakkah sebuah maskapai penerbangan pun yang terpikir untuk menyediakan kompensasi makanan atau apapun bentuknya ketika delay harus terjadi dengan layak? Kalau memang penumpang membawa bayi, kenapa mereka tidak menyediakan makanan bayi atau paling tidak menanyakan apa yang bisa mereka siapkan untuk sang bayi, karena setahu saya penumpang dengan infant atau bayi tidak sepenuhnya gratis alias tidak membayar. Tetap ada fee, cost, atau apapun istilahnya sejumlah dana yang dikenakan. Tentu bukan masalah membayar atau tidak. Masalah manusiawi atau kewajiban sebagai pihak yang melakukan kelalaian. Lalu, adakah maskapai penerbangan ketika men-delay penerbangan terpikir untuk memberikan pelayanan yang layak lainnya, seperti tempat duduk yang layak, atau hanya sekedar menyapa para penumpang untuk memastikan kami baik-baik saja? Bagi yang belum pernah melakukan penerbangan ke Surabaya (baca: bandara Juanda), FYI, coba saja lakukan perjalanan ketika hari dan jam peak tinggi. Jangan harap kita bisa mendapatkan kursi untuk menunggu yang nyaman. Itu juga syukur kalau bisa duduk. Hal serupa bisa terlihat juga di bandara Cengkareng - Jakarta. Silakan tuntut saya jika kedua pihak bandara tersebut tidak setuju. Bukan saya saja yang mengalami kejadian tersebut. Sapaan dari sang petugas akan menjadi sedikit obat ikhlas kami para penumpang yang rasanya tentu tidak akan ditolak oleh penumpang manapun.
Tapi seorang bayi tidak mendapat jatah makanan sebagai kompensasi keterlambatan jadwal penerbangan? Tidak manusiawi. Hanya semangkuk bubur bayi, buah, makanan bayi, atau segelas susu untuk sang bayi, bahkan tidak seharga 1 % dari makanan orang dewasa.
Bagaimana dengan kalian? Apa yang sudah kalian alami terkait dengan penerbangan Indonesia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dear Rika & friends ...