Setelah hampir 3 bulan berusaha menyelesaikan (membaca) novel ini, akhirnya selesai juga!!!! The end.
Siapa yang tidak kenal Remy Sylado? Tapi kalaupun ada yang tidak tahu siapa beliau, ngga apa-apa juga siy. Karena saya pada awalnya cuma tahu Remy Sylado penulis Indonesia, berambut putih, pernah ditangkap karena kritis terhadap pemerintah, dan seorang sastrawan. Setelah google-ing siapa beliau, rupanya penilaian saya tidak salah.
Kesan pertama kali yang muncul ketika membaca novel pertama Remy Sylado yang saya baca, adalah .... Terkesan. Oleh betapa Indonesia-nya penulis yang satu ini, tanpa mengecilkan penulis Indonesia lain yang bukan berarti tidak orisinil asli Indonesia. Penggunaan diksi (baca: pilihan kata) kental sekali aroma Indonesia untuk mengartikan (atau sekedar mengeja) beberapa kata dari bahasa asing dan menggunakan kata-kata Indonesia lama yang sudah jarang dipakai. Macho menjadi maco, 'pringsilan' , 'rahib', 'resi', 'diwasangkai', 'ikhtiar zindik', 'menjeb' , dan lain sebagainya, yang saya sendiri kurang begitu paham apa artinya. Atau, kata istilah beberapa ahli bahasa, disebut sebagai Munsyi (sumber: wikipedia). Tanpa menjadikan novel ini sebagai karya sastra njlimet dan terjangkau oleh otak-otak dengan kemampuan pentium 4 seperti saya. Saya memang belum pernah membaca karya-karya beliau sebelumnya. Dan semoga memang karya-karya yang lain juga tidak se-njlimet karya sastrawan yang umumnya terlalu mendakik-dakik, atau bikin kepala pusing tujuh keliling.
Kesan kedua terhadap novel ini, takjub. Dengan jalan cerita dan pemilihan latar situasi yang terasa orisinalitas mengenai data, sebutan jumlah, atau angka. Hotel Pro Deo memilih latar situasi peristiwa '98, dan mengangkat isu rasis, politik kala itu, menambah bumbu drama keluarga yang sebenarnya tidak terlalu spesifik berbeda dengan intrik drama-drama lainnya. Menjadi spesial karena (sepemahaman saya) situasi yang diangkat begitu nyata. Sekali lagi mengutip informasi pada situs Wikipedia mengenai Remy Sylado, kekuatan penulisan karya-karyanya memang didasarkan pada hasil riset data yang akurat, yang saya sendiri belum pernah membaca karya fiksi yang begitu detil. Hanya saja pada beberapa bagian memang akan terasa agak sedikit 'lebay' (Maafkan saya kalau mendadak menjadi sok komentatoris mengenai tulisan beliau). Sebagai awam, dan mencoba berpikir jauh lebih sederhana, ada kalanya di beberapa bagian, Remy menuliskan mengenai isu penting tentang rasialisme era '98, yang tidak terkait sedilit pun dengan latar cerita yang sedang ditulis. Misal, dengan latar cerita di sebuah sidang pengadilan kasus kriminal yang dialami tokoh antagonisnya, mendadak muncul baris kalimat yang mengangkat isu rasis yang memang sebetulnya diceritakan dalam novel tersebut. Tapi di-logika-kan pun (berdasar dari runtutan kejadian fiksi sebelumnya), tidak bisa ditarik benang merah dengan isu kriminalitas yang coba diungkap. Kalau saya bilang siy, mungkin ini 'curhat' atau opini Remy mengenai isu terkait. Tidak salah dan tidak jelek, hanya saja dua paragraf panjang mengurai opini yang tidak terkait dengan latar cerita, menjadi tidak penting dan pemborosan paragraf. Mungkin juga begitu ciri penulis angkatan lama semodel beliau, kritik sosial, isu politik, ras, dan kriminalitas tetap menjadi bumbu fiksi namun nyata adanya.
Novel yang dicetak tahun 2010 dan setebal 1.016 halaman ini, menceritakan tentang intrik keluarga Bpk. DB. Dharsana yang beristrikan Ibu Intan. DB diceritakan seorang pejabat tinggi kepolisian RI berpangkat Komisaris Besar (Kombes) sekaligus berkedudukan sebagai anggota parlemen (DPR RI). Menikahi Ibu Intan, janda meninggal diploma Perancis beranak 1, lelaki, bernama Marc. Konflik mulai terjadi ketika Marc, mendapati DB selingkuh dengan Jeng Retno, ibu Mayang - pacar Marc, dan menyulut amarah DB atas kelakuan anak tirinya tersebut yang semakin menjadi, meski sebelum kejadian tersebut Marc tidap pernah setuju ibunya menikah dengan DB. Sebagai tokoh petinggi kekuasaan tahun '98, DB tidak ingin kelakuan binalnya dengan Jeng Retno terungkap khususnya oleh Ibu Intan atau Mayang, maka direncanakanlah sebuah pembunuhan Marc, dibantu oleh Jeng Retno, semata-mata untuk motif penguasaan atas harta DB dan Intan, mengacuhkan bagaimana perasaan Mayang sebagai orang terdekat Marc. Konflik menjadi meluas dengan keterlibatan beberapa tokoh yang memang pada akhirnya memang membuat runyam situasi.
Bayangan saya ketika membaca judul novel ini, Hotel Pro Deo, menceritakan tentang seputaran kehidupan hotel pro deo (baca: penjara) ala seri televisi 'Prison Break'. Tapi agaknya saya salah. Mungkin yang dimaksud oleh Remy adalah kelakuan kriminal dari beberapa tokohnya yang seharusnya memang dijebloskan ke penjara sejak awal. Sedikit cerita mengenai kriminalitas dalam penjara hanya terungkap pada bagian pertengahan dan akhir cerita. Entah untuk alasan apa judul itu yang dipilih.
Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan (menurut saya), novel ini termasuk novel yg masih bisa dijangkau oleh kita yang memang malas ber-njlimet ria, tanpa menghilangkan aspek sastra yang memang khas penulis-penulis era itu. Jangan seram karena ketebalan novel yang memang aduhai. Saya jauh lebih bisa memahami novel ini ketimbang Harry Potter yang barangkali kurang lebih tebalnya. Urusan harga, kalau yang memiliki rejeki lebih bolehlah, yang jelas sih ukuran kantong anak kos di Kota Malang,harga novel ini setara dengan harga kamar kos ukuran 3x3 meter hehe. Tidak adil yah menyamakan harga karya sastra dengan kamar hunian kos? Tapi begitu adanya.
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dear Rika & friends ...