First of all … would like to thank to Oprah Winfrey as one of the most influence woman in the world yang mengangkat tema ini di salah satu episode talkshow “Oprah show” setahun yang lalu. Meskipun sebenarnya isu ini sudah setahun yang lalu, tapi tidak begitu yakin juga kalau kenyataan di lapangan sudah bisa diatasi. Latar belakang pemilihan topik posting kali ini didasari oleh sebuah episode Oprah Winfrey Show beberapa minggu yang lalu, bertepatan dengan Earth day atau kalau di Indonesia lebih dikenal dengan Hari Bumi. Saya yang biasanya suka lupa dengan jam tayang talkshow ini entah kenapa kali itu tepat memilih channel televisi nasional yang memang menayangkan acara tersebut pada jam yang tepat pula. Setelah sneak peak sejenak ke situs tersebut, ternyata episode tersebut merupakan episode masih terkait dengan peringatan Hari Bumi, namun dalam periode waktu setahun yang lalu. Betapa telatnya berita ini sampai ke Indonesia, itu yang saya pikirkan. Tapi tidak ada yang terlambat untuk berita yang penting.
Seluruh dunia pasti paham Jepang adalah salah satu negara dengan konsumsi ikan terbesar di dunia, eh kalau yang ini siy asumsi saya (baca: belum riset hehehe). Didasarkan pada setiap restaurant Jepang yang memang menyuguhkan makanan berbahan dasar ikan laut atau seafood. Dan mungkin tidak hanya Negara Jepang saja yang begitu, wilayah-wilayah disekitarnya seperti China, Taiwan, bisa juga kita asumsikan seperti itu. Yahh … sederhananya bangsa serumpun itu memang doyan banget sama ikan-ikan an. Tapi pernahkah kita membayangkan kalau beberapa orang diluar sana (tanpa menyebutkan salah satu negara atau bangsa), juga mengkonsumsi daging lumba-lumba?? Shocked, itu yang pertama saya rasakan ketika melihat episode Oprah show kali itu. Sebenarnya kali itu Oprah mengundang tamu-tamu pemenang Oscar untuk kategori film dokumenter yang menceritakan pembunuhan lumba-lumba besar-besaran yang terjadi di Teluk Taiji, Jepang. Mendadak saja pembicaraan tidak penting lagi soal bagaimana film itu sebenarnya, melainkan isu terpenting yang harus kita ketahui sebagai bagian dari civil society. Pembantaian itu memang terjadi dan memang disahkan oleh pemerintah Jepang dalam batas tertentu. Saya kurang paham juga bagaimana aturan atau ketentuan mengenai batas maksimum dalam penangkapan ikan di laut. Sedikit yang saya pernah dengar di beberapa negara memang ada aturan tegas mengenai jenis ikan apa saja yang boleh ‘naik ke permukaan’ untuk dikonsumsi termasuk jumlah dan batas maksimum bobot ikan. Semua itu saya yakin ditentukan untuk menjaga kelestarian atau paling tidak memberikan kesempatan bagi ikan-ikan di laut untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Tidak terbayang saja ikan seumur jagung sudah boleh dikonsumsi (kalaupun bisa), mana penerus bangsanya???
Kalau soal menangkap saja sudah ada aturan pada consumable fish, apalagi untuk spesies ikan yang termasuk dalam spesies langka dan memang bukan untuk konsumsi?? Menangkap saja sudah salah, apalagi membunuh?? Web situs ini yang perlu teman-teman semua lihat. Buat anda yang memang seangkatan dengan saya (hehehe), perlu sedikit mengeluarkan referensi film yang pernah ditonton dimasa kecil dulu. Flipper. Film seri televisi tentang lumba-lumba yang friendly dengan manusia dibuat tahun 1964 dan dibuat ulang pada tahun 1996 dibintangi oleh Elijah Wood. Percaya atau tidak, Flipper memang benar-benar ada dan dilatih oleh pelatih lumba-lumba profesional dan menjadi salah satu hewan pertunjukkan pada tempat hiburan safari lainnya. Flipper versi tahun 1964 diperankan oleh lumba-lumba betina bernama Kathy dan dilatih oleh pelatih lumba-lumba profesional Ric O’Barry, yang setelah kematian Kathy beberapa tahun kemudian memutuskan tidak lagi menjadi pelatih profesional melainkan menjadi aktivis perlindungan lumba-lumba. Sosok O’Barry inilah yang menggaungkan berita pembunuhan lumba-lumba di Jepang seperti yang bisa kita lihat pada film dokumenter yang dibuatnya bersama beberapa rekan dan berhasil memenangkan Oscar untuk kategori film dokumenter terbaik tahun 2010 lalu.
She was really depressed … You have to understand dolphins and whales are not (involuntary) air breathers like we are. Every breath they take is a conscious effort. They can end their life whenever. She (Kathy/Flipper) swam into my arms and looked me right in the eye, took a breath and didn’t take another one. I let her go and she sank straight down on her belly to the bottom of the tank. – Ric O’Barry on Oprah’s interview
The Cove. Film dokumenter yang dibuat tahun 2009 tentang pembunuhan masal lumba-lumba di Jepang, disutradarai oleh Louie Psihoyos dan dibintangi langsung oleh Ric O’Barry bersama beberapa koleganya. Wajar jadinya kalau film ini mendapat predikat film dokumenter terbaik versi Oscar Academy Award. Selain karena tema isu yang diangkat, juga digambarkan bagaimana sulitnya para pembuat film melakukan riset dan proses pembuatan film yang setengah mati bikin deg-deg an. Saya sebagai penonton kalau bisa mengacungkan sepuluh jempol, saya akan berikan. Semua bagian yang terlibat pembuatan film ini berhasil menyampaikan pesan pentingnya tentang pembunuhan lumba-lumba dan bukan hanya sekedar membuat film keren lalu mendapat penghargaan. Dan yakin pula kalaupun tidak berhasil memenangkan kategori tersebut, menjadi nominasi saja sudah langkah bagus menunjukkan pada dunia apa yang telah terjadi diluar sana. Semakin keren lagi karena film The Cove bisa dengan mudahnya dilihat atau mengunduh pada situs Youtube.
Melihat film ini atau lebih tepatnya mencoba memahami isu penting ini tidak melulu membuat saya pakar atau ahli tentang lumba-lumba. Saya mencoba mengerti lebih jauh mengenai anatomy atau behavioral lumba-lumba yang menyebabkan kenapa mereka bukanlah spesies hewan laut yang boleh dikonsumsi atau bahkan untuk ditangkarkan. Dengan sedikit riset lewat Wikipedia dan beberapa situs konservasi lumba-lumba here’s some of facts about dolphin …
- Pahamkah kita semua kalau lumba-lumba adalah hewan yang memang diciptakan untuk berenang cepat? Dan untuk itulah Tuhan menciptakan Samudera yang sebegitu luas bagi hewan-hewan jenis ini untuk bertahan hidup. Menjadi tidak terbayang jika mereka hidup dalam tangki air penangkaran yang barangkali tidak lebih besar dari lapangan sepakbola Gelora Bung Karno – Senayan, dan hanya bisa berenang dengan kecepatan berenang terbatas. No adventure.
- Pahamkah jika lumba-lumba sama halnya dengan kita, manusia, memiliki kepentingan perilaku sosial (social behavior) ? Di lautan mereka hidup ditengah sekelompok (pod) kecil terdiri dari beberapa ekor lumba-lumba dan bahkan membentuk superpod yang memungkinkan ribuan ekor lumba-lumba bergerombol untuk tujuan mencari makan. Dan semakin tidak terbayang, jika disetiap penangkaran hanya terdiri dari dua hingga lima ekor lumba-lumba. Ibaratnya, sepi amat yakkk ??
- Diantara predator-predator di laut, pahamkah kita jika penggunaan pestisida berlebih, material industri berbahaya, beracun, dan polutan pertanian lain juga menjadi predator bagi keberadaan lumba-lumba? Itu kenapa daging lumba-lumba bukan konsumsi makanan sehari-hari. Seperti yang dijelaskan di film The Cove, daging lumba-lumba sebenarnya mengandung merkuri yang cukup tinggi kalau manusia mengkonsumsinya. Logika sederhana mengenai kandungan merkuri didalam tubuh ikan adalah rantai makanan. Merkuri sebagai polutan yang ditimbulkan adanya industrialisasi era sekarang yang gila-gilaan bisa menyebar melalui jalan apapun, udara karena limbah asap pabrik, air karena pembuangan limbah cair, tanah karena pengendapan material padat limbah, dan didukung lagi dengan peristiwa ‘Tragedi Minamata’ dimana industri di Minamata, Jepang membuang limbahnya ‘murni’ ke laut, dan hal tersebut menimbulkan tragedi merkuri besar-besaran yang terlihat langsung dampaknya pada masyarakat Jepang. Partikel-partikel kecil merkuri tersebar ke perairan, mengkontaminasi plankton, dengan ikan-ikan kecil sebaga predatornya, begitu seterusnya hingga pada lumba-lumba dan paus (whale) sebagai ikan besar yang mem-predator ikan-ikan berukuran lebih kecil. Dengan posisi lumba-lumba atau paus berada pada rantai makanan teratas, secara logika kandungan merkuri ‘menumpuk’ dalam tubuh ikan-ikan kecil makanan mereka. Dan manusia sebagai makhluk omnivora (pemakan segala) semakin bisa di-logika kalau merupakan tempat ‘pembuangan’ akhir partikel-partikel merkuri tersebut. Mungkin, itu pula kenapa lumba-lumba atau ikan besar lain bukan merupakan makanan yang baik untuk kita konsumsi. Logic, huh?
- Pahamkah kita semua kalau lumba-lumba merupakan hewan mamalia dengan tingkat intelejensia yang paling rumit dan tinggi yang pernah ada? Otak lumba-lumba memiliki ukuran yang besar dan struktur yang cukup rumit bahkan dibandingkan dengan hewan mamalia yang ada di daratan. Mungkin itu juga kenapa hewan yang satu ini ‘hobi’ sekali menjadi makhluk percobaan teknologi maupun laboratorium berjalan bagi para ilmuwan maupun militer. Mulai untuk tujuan mencari kandungan minyak bumi atau tambang dibawah laut, untuk tujuan penyelamatan (rescue), hingga isu tujuan melatih lumba-lumba pembunuh untuk kepentingan militer. Mungkin juga dengan struktur ‘wajah’ (anatomi) khususnya bagian mulut lumba-lumba yang membentuk kurva menyerupai bentuk senyuman itulah menyebabkan hewan ini menjadi sasaran empuk bagi tempat-tempat wisata safari untuk dilatih dan dipertunjukkan, selain kemampuannya untuk ‘bermain’. Lumba-lumba memang memiliki kebiasaan untuk bermain atau berinteraksi dengan makhluk lain yang memungkinkan untuk didekati, manusia terutama. Beberapa kali cerita penyelamatan korban tenggelam di lautan yang diselamatkan oleh lumba-lumba menjadi bukti nyata kebutuhan untuk bersosialisasi hewan yang satu ini. Berenang diantara ombak tinggi bersama dengan peselancar juga bukan hal yang aneh, atau berenang pada bagian ujung kapal.
- Pahamkah kita semua, tindakan penangkaran lumba-lumba merupakan salah satu penyebab kematian spesies lumba-lumba akibat tingkat stres yang tinggi karena lumba-lumba tidak bisa memenuhi naluri liar dan hewani mereka untuk berenang cepat di akuarium ‘luas’, berkelompok, melainkan hidup dalam tangki air yang sudah saya sebutkan diatas, barangkali tidak lebih dari ukuran lapangan sepakbola Gelora Bung Karno – Senayan? Bahkan, kalaupun ada ukuran akuarium sebesar stadion Gelora Bung Karno – Senayan saya yakin itu tidak akan membuat mereka ‘betah’. Selain cara pembunuhan lumba-lumba yang sangat tidak layak tersebut. Based on film The Cove tersebut, lumba-lumba ditangkap dengan cara dijaring (net) hingga terkumpul dalam jumlah ratusan hingga ribuan dalam jaring yang menyebabkan berkurangnya ruang gerak lumba-lumba. Sebelumnya, bukan sekali atau dua kali ini lumba-lumba terjaring. Namun pada kasus tertentu, lumba-lumba masih bisa membebaskan diri mereka dengan cara merusak jalinan jaring nelayan atau melompati jaring tersebut jika memungkinkan. Tapi dengan ruang gerak yang sempit, dan suara-suara ‘meronta’ lumba-lumba untuk membebaskan diri, juga merupakan cara mematikan yang ampuh karena mampu menimbulkan stres dan gangguan pendengaran bagi mereka. Kemudian, dengan mudah nelayan-nelayan tersebut menombak atau membunuh lumba-lumba tersebut satu per satu.
- Last but not least, harus cukup waspada pada salah satu spesies lumba-lumba yang bernama Orca atau biasa kita kenal dengan Killer Whale, pernah juga difilmkan dengan judul “Free Willy”. Pembunuh akan tetap membunuh walau dengan intensitas yang jarang. Lumba-lumba merupakan bagian dari kelas mamalia ordo cetacea sub ordo ordotonceti yang berciri sebagai mamalia perairan, bernafas dengan paru-paru, dan bergigi. Gigi-gigi ini bukan berarti untuk mengunyah, melainkan menggigit mangsa berukuran besar kemudian menelan langsung makanan yang mereka gigit. Untuk mangsa berukuran kecil mereka langsung menelan. Itu kenapa lumba-lumba bukan hewan berbahaya. Berbeda dengan Orca, khusus ‘saudara’ lumba-lumba ini mengikuti nama yang melekat padanya, mampu memangsa hewan-hewan berukuran besar bahkan yang lebih besar darinya atau manusia. Bukan tidak mungkin sesama ‘saudara’ lumba-lumba juga bisa dimangsanya.
Pesticides, heavy metals, plastics, and other industrial and agricultural pollutants that do not disintegrate rapidly in the environment concentrate In predators such as dolphins. – TED: Stephen Palumbi: Following the mercury trail
Bagaimana dengan negara kita tercinta? Berdasarkan web situs ini, lumba-lumba yang banyak ditemui pada perairan Indonesia terdiri dari sepuluh jenis lumba-lumba, yang tersebar di perairan lau bebas (oseanik) maupun perairan pantai, diantaranya diperairan pantai dijumpai di Sungai Mahakam, mereka juga banyak dijumpai diteluk Kendawangan (Kalimantan Barat), Teluk Kumai (Kalimantan Tengah) maupun di laguna Segara Anakan (Jawa Tengah). Diperairan Indonesia banyak jenis lumba-lumba dan paus dijumpai diperairan Indonesia Timur seperti Laut Sawu Maluku dan Papua. Lagi-lagi berdasarkan film The Cove untungnya Indonesia bukan termasuk negara peng-impor daging lumba-lumba yang berasal dari Taiji, Jepang (wallahualam!!). Meskipun masih cukup sulit menemukan artikel mengenai perkembangan konservasi lumba-lumba di Indonesia tapi semoga memang tidak ada pembantaian besar-besaran yang terjadi di Indonesia. Beberapa artikel menunjukkan aktifitas perburuan lumba-lumba sebagai konsumsi masyarakat hanya ditemui pada nelayan tradisional yang menangkap dengan cara-cara yang serba terbatas, sengaja atau tidak. Sekali lagi semoga tidak akan ada pembantaian lumba-lumba besar-besaran di Indonesia atau di negara lain. Saya memang belum bisa bergerak atau melakukan sesuatu yang cukup besar untuk melindungi makhluk Tuhan paling seksi melebihi (Mulan Jameela) ini. Tapi paling tidak, sesuai dengan anjuran web situs http://www.savejapandolphins.org , Take the Pledge Not to Buy a Ticket to a Dolphin Show, Beberapa hari yang lalu saya ke sebuah market untuk berbelanja beberapa barang. Dan bahkan, ditengah udara panas Kota Surabaya, di area kawasan industri, supermarket itu mengadakan pertunjukan lumba-lumba di area parkir mereka yang jika dibandingkan dengan luasan tempat pertunjukan terlalu kecil!!!! Whattt??? Is it possible? Entah itu berasal dari penangkaran hewan sebelah mana, yang jelas semua terkesan apa adanya. Atau kalaupun benar resmi, bolehkah itu? Sayangnya saya tidak sempat mengabadikan pertunjukkan tersebut, karena melihat spanduk serta baliho mereka tidak sanggup.
Lumba-lumba merupakan ‘saudara’ terdekat ikan paus (whale) dan ikan pesut (porpoise). Tidak peduli seberapa banyak jumlah atau ukuran lumba-lumba yang jauh lebih aman, aturan perlindungan terhadapnya harus diperlakukan sama sebagaimana kita melindungi ikan paus. Langka, dan mereka bukan jenis hewan yang bisa ‘dipelihara’ layaknya anjing, kucing, atau kelinci. Mereka pula, lumba, paus, dan pesut, adalah hewan pada puncak tinggi rantai makanan (meski bukan yang tertinggi) dimana kepunahannya akan berdampak pada jaringan kehidupan kita. Membiarkan mereka di alam, menjaga naluri kehewanan mereka untuk berpredator, berburu, melainkan mengkungkung mereka dalam tangki air serta melatih mereka menjadi hewan-hewan ‘peminta’ makanan (yang bukan nalurinya sesungguhnya) setelah melakukan sesuatu yang indah bagi para penonton, adalah jalan untuk melestarikan mereka untuk tetap hidup. Entah apa cara yang lebih baik dari itu.
Cukup dan Hentikan. Bagi teman-teman yang sudah melihat the cove atau memiliki berita lain terkait mengenai perburuan dan pembunuhan liar lumba-lumba, please … let’s spread it to the world, and don’t buy a ticket to the dolphin show. Please …
!!!!Safe dolphins!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dear Rika & friends ...