NATO dan POLSEK.
Sebenarnya tidak ada hubungan antara keduanya. Kesamaan apalagi. Tidak pula bisa dibandingkan antara NATO dan POLSEK. Tapi untuk kali ini, secara sederhana bisa terlihat kesamaan peran dan fungsi meskipun dengan berbeda latar kejadian.
North Atlantic Treat Organization atau yang biasa kita kenal dengan NATO singkatnya merupakan aliansi negara-negara di sekitar Samudera Atlantik utara (keanggotaan ditetapkan berdasarkan perjanjian/treaty) sepakat untuk bekerja sama dalam bidang militer dan politik. Sebelumnya saya mohon maaf sebesar-besarnya bagi pakar/ahli politik atau militer kalau ada pemilihan kata saya kurang berkenan, karena setelah membuka web situs NATO kok ya agak ribet yah istilah-istilahnya (blame it on TOEFL score yang ngga nyampe 500!!!). Dengan pemahaman terbatas dan super cetek dari otak saya, kurang lebih saya mengibaratkan NATO sebagai genk negara-negara atlantik utara atau semacam ASEAN gitu, dibentuk agar lebih kompak, solid antara tetangga kanan kiri, dan eksis diantara negara-negara di dunia (lagi-lagi ini bahasa saya). Dan sebagai sektor kehidupan yang cukup penting antar negara dan mempertaruhkan keutuhan sebuah negara, dipilihlah bidang politik dan militer sebagai dasar pembentukan kerjasama. Sama-lah seperti ASEAN, dibentuk untuk mempermudah pergerakan regional antar negara Asia Tenggara di berbagai bidang yang notabene masih di-klaim sebagai negara berkembang.
Terakhir yang saya ingat terkait dengan organisasi ini adalah beberapa tahun lalu ketika saya masih duduk di jenjang pendidikan sekolah dasar (SD) dalam pelajaran sejarah tentang mengapa negara kita, Indonesia, tidak masuk sebagai bagian dari negara anggota NATO atau SEATO. Khusus yang SEATO memang tidak terlalu banyak terdengar suaranya, karena memang organisasi ini berakhir di tahun 1977 (koreksi jika saya kurang tepat). SEATO dibentuk semodel dengan NATO hanya dengan negara anggota yang berbeda. SEATO beranggotakan negara-negara South East Asia atau Asia Tenggara, tapi yang sedikit aneh, Amerika juga masuk sebagai negara anggota. Eksis sekali ‘tuh Paman Sam. Kenapa negara kita tidak memilih menjadi anggota keduanya, katanya karena negara kita menganut politik bebas aktif. Tidak memihak salah satu pihak, let’s say north or south, namun tetap aktif dalam perdamaian dunia. Dan isu terhangat yang paling sering kita dengar sekarang ini tentang serangan NATO di beberapa wilayah Libya, tentunya terkait proses demokrasi yang terjadi disana, serupa dengan peristiwa 1998 di negara kita tentang pelengseran presiden Soeharto yang sudah hampir 32 tahun sebagai RI 1. Lebih parah lagi yang terjadi dengan negara di tanah Afrika ini, Presiden Ghadafi menjabat sebagai orang nomer wahid di Libya selama hampir 42 tahun. Wajar ketika warga menjadi gerah, galau, ketika nasib mereka stagnan, terkungkung dengan aturan ditaktoritas pemimpin mereka, dan tidak bisa menyuarakan apa yang ingin mereka katakan. Kita sebagai bagian dari Indonesia pernah melalui itu, masa dimana kita begitu ‘takut’ untuk berkata Z sementara negara berkata A. Dan ketika kejenuhan kepatuhan itu sampai di ubun-ubun, itulah yang terjadi. Kakak-kakak mahasiswa kala itu benar-benar menjadi agent of change yang memiliki kekuatan mutlak dan sah sebagai squad atau troopers terdepan menyuarakan apa yang menjadi bahan pemikiran terpendam. Sebagai anak sekolahan yang belum paham soal politik dan kekuasaan (begitu juga hingga sekarang), barangkali semua hot temper di ibukota tidak terasa di Surabaya karena jujur saja situasi di Surabaya cenderung aman dan terkendali, meskipun saya tetap yakin kakak-kakak mahasiswa di belahan Jawa Timur mana pun terusik juga dengan ketidak adilah era itu dan mungkin turut memperjuangkan aspirasi di ibukota. Semenjak itu semakin yakin, kota kelahiran saya ini benar-benar barometer keamanan negara yang sesungguhnya. Kalau Surabaya mulai kacau, maka keamanan negara kacau pula. Sebaliknya, Surabaya terkendali, negara hanya sedang melalui kerikil-kericil kecil dalam perjalanan (baca: pendewasaan)-nya. Ahhh … sok politis saya di paragraf ini !!!
NATO | SEATO |
*) anggota NATO berwarna biru | *) anggota SEATO berwarna ungu |
Ini yang sebenarnya yang ingin saya bagi. Analogi militerisasi yang beberapa saat lalu terjadi di ‘kampung’ saya, bersamaan dengan peristiwa pemboman NATO di Libya yang akhirnya ‘berhasil’ membunuh putra Presiden Ghadafi dan ketiga cucunya. Kedua peristiwa yang terjadi bersamaan sedikit mengusik saya tentang hawa-hawa militer atau politik yang terlibat. Bedanya, yang satu bertaraf internasional dan menjadi isu penting dunia, sementara yang lain hanyalah politik ‘kampung’ tapi tetap jadi isu yang bisa menjatuhkan nama baik seluruh warga kampung kalau tidak bisa diredam. Jadi, dalam artian sempit, keduanya merupakan isu penting (bagi saya).
Agak terusik ketika mendengar pasukan militer NATO mulai terjun ke Libya dan ‘ikut-ikut’an ke isu internal sebuah negara yang bahkan tidak menjadi negara anggota mereka. Libya bukan bagian dari NATO. Libya tidak ubahnya Indonesia 1998 yang ‘hanya’ sedang berjuang menuju era demokrasi yang lebih terbuka. Pada awalnya beberapa pembicaraan anggota dewan, pakar pertahanan dan keamanan, politisi, pengamat Libya, atau siapapun yang merasa mampu berkomentar tentang Libya, sebagian dari mereka menyamakan apa yang terjadi di Libya dengan apa yang terjadi di Indonesia tahun 1998. Mulai dari isu pelengseran kepala negara, keterbatasan demokratisasi di berbagai sektor, isu korupsi-kolusi-nepotisme yang serupa, dan isu kemanusiaan lain yang secara tidak langsung pasti dikait-kaitkan. Tapi menjadi berbeda karena campur tangan pasukan militer yang mengatas namakan demi kemanusiaan dan perdamaian. Untungnya (ahhh Jawa sekali saya masih untung), Indonesia kala itu belum melibatkan dunia seperti United Nation (UN) atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) maupun ASEAN sebagai asosiasi negara-negara regional Asia Tenggara. Untungnya, Indonesia masih bisa mengatasi permasalahannya sendiri meskipun hingga sekarang isu kemanusiaan yang muncul akibat masuknya gerakan militer tentara belum terselesaikan (semoga belum ada yang lupa akan peristiwa tewasnya beberapa mahasiswa trisakti dan semacamnya). Saya kurang paham juga peristiwa itu bisa mengartikan posisi Indonesia di mata dunia atau tidak. Dibayangan saya, seandainya saja ada campur tangan pasukan-pasukan militer perdamaian berskala dunia kala itu, alangkah hebatnya Indonesia sebagai negara yang masih berkembang dan saking pentingnya sampai-sampai harus ‘dibicarakan’ oleh seluruh dunia. Tapi disisi lain, tergelitik juga dengan pemikiran barangkali saking ngga penting nya Indonesia seakan-akan ‘disuruh’ menyelesaikan sendiri urusan internalnya. Atau, saking ‘hebat’nya Indonesia negara-negara tetangga menghormati Indonesia untuk membereskan apa yang terjadi dan mereka lebih memilih untuk menunggu dan mengamati. Dan masih banyak lagi spekulasi yang bisa muncul hanya dengan satu peristiwa. Itu kenapa saya tidak begitu suka dengan pendapat yang mengandalkan asumsi belaka. Maklum, didikan orang teknik pengaruh juga kali yah? Bertanya-tanya juga kenapa yah urusan Libya ini seluruh dunia jadi rempong ? Sampai-sampai pasukan militer NATO harus ikut embargo senjata, meminta UN untuk menerapkan no-fly zone di langit Libya, ikut-ikutan memaksa Presiden Ghadafi lengser, dan upaya terakhir yang dilakukan antara lain membekukan aset keluarga Ghadafi apapun caranya. Katanya siy, masyarakat anti Ghadafi yang meminta bantuan NATO. Ada juga yang bilang NATO turun tangan semata-mata karena melihat Ghadafi ini makhluk alot yang tidak mau diatur, ujung-ujungnya (lagi-lagi) mengatas namakan kemanusiaan karena Ghadafi secara terang-terangan pula bereaksi keras akan kelompok kontra.
Tinggalkan sejenak urusan NATO, Libya, dan Ghadafi. Kita beralih ke dalam negeri (diucapkan seperti para pembaca berita). Sebenarnya agak jauh juga yah membandingkan atau menganalogikan NATO dengan bapak-bapak polisi POLSEK. Karena memang tidak sebanding. Hanya saja kejadian beberapa hari yang lalu sedikit menggelitik saya sampai-sampai saya secara random menganalogikan keduanya. Berawal dari kisruh rumah tangga antara tetangga A dan tetangga B yang berlokasi di sisi lain ujung gang rumah dan berselisih kira-kira 10 rumah dari kediaman saya. Kejadian kisruh antar tetangga muncul karena rasa tidak terima kedua orang tua pemuda pemudi bertetangga yang saling jatuh cinta namun karena satu dan lain hal tidak bisa berlanjut. Cukup simpang siur mengenai kronologis kejadian siapa yang memulai terlebih dahulu dan apa penyebab pastinya. Ada yang bilang kisruh dimulai oleh orang tua pemudi (sebut saja Bunga) yang tidak terima perlakuan orang tua pihak pemuda yang mengirim makanan basi. Sama halnya dengan kebiasaan orang Jawa yang suka berkirim makanan antar tetangga, meskipun anak-anak mereka sudah tidak bersama sebagai tetangga yang akur mereka tetap menjalin hubungan yang baik. Hingga sebuah kejadian kalau boleh saya simpulkan hanya sebuah kesalah pahaman dan entah setan apa yang ikut memperkeruh keadaan. Berdasarkan cerita hansip keamanan gang rumah yang selalu berjaga malam setiap hari, tidak ada yang tahu kalau makanan itu basi. Semata-mata dikirimkan ke orang tua pemuda karena mereka kelebihan makanan. Tapi mengingat track record hubungan anak-anak mereka yang kandas tiba-tiba, ada sisi amarah orang tua pemudi yang tidak terima sehingga muncul pemikiran-pemikiran aneh yang kalau dipikir-pikir tidak masuk akal, mengingat seluruh penduduk di gang tempat saya tinggal paham akan hukum. Pertengkaran hebat malam hari tidak terhindarkan sampai-sampai Mama yang sedang pengajian di salah satu rumah tetangga yang berdekatan dengan rumah keduanya jadi shock melihatnya. Dan Mama yang memang tidak begitu suka gossip menahan diri mati-matian sepanjang pengajian untuk tidak terlalu berkomentar panjang lebar.
Semakin meruncing ketika secara tidak sengaja salah seorang anggota keluarga pihak pemudi menyerempet mobil anggota keluarga pemuda yang juga sama-sama diparkir di luar pagar rumah. Emosi menjadi, hingga pada titik tertentu salah satu pihak melaporkan kejadian tersebut ke Polsek terdekat. Sebagai orang-orang yang paham hukum, tetangga lain pun, kali ini melibatkan pihak bapak-bapak, menawarkan solusi perdamaian secara internal gang rumah. Malu rasanya kalau sampai harus melibatkan Ketua Rukun Tetangga (RT) atau ketua Rukun Warga (RW) yang berarti juga pasti akan tersebar ke warga gang lain. Akan jadi reputasi buruk yang selama ini sudah cukup baik dijaga oleh para tetua gang. Sayangnya, karena ego atau entah apa sebutannya, kedua belah pihak berseteru menolak ide perdamaian yang ditawarkan. Hingga pada akhirnya dengan terpaksa hansip keamanan meminta bantuan ketua RT untuk mengantarkan mereka ke Polsek. Lagi-lagi Papa sebagai salah satu warga terlama di gang rumah menolak menjadi mediator keduanya karena memang tidak melihat secara langsung kejadian, tidak terlibat, dan tidak punya kepentingan untuk campur tangan. Well done, dad. Dengan pertimbangan tawaran perdamaian antar warga saja sudah diabaikan, kenapa mesti repot jadi pihak mediator di kantor polisi? Sekalian saja bapak ibu polisi yang memediasi, begitu kata Papa. ”Biar sekalian kalau ada yang salah bisa langsung dilaporkan hehe” guyon Papa. Setelah beberapa jam perdebatan terjadi di kantor polisi, diputuskan bahwa persoalan ini masih belum perlu sampai pada pelibatan aparat penegak hukum, cukup diselesaikan antar warga dengan mediasi ketua RT atau ketua RW. Yahh … apa mau dikata, malu sudah terlanjur. Untungnya (lagi-lagi), pilihan bijaksana pak polisi lumayan bisa diterima kedua belah pihak yang berseteru, meski dengan yakin pun saya bisa katakan itu mustahil.
Dengan modal otak pas-pasan dan waktu luang yang seluang-luangnya, sebuah analogi kacau muncul dari entah belahan otak saya yang sebelah mana. Kalau disebut datang dari bagian otak untuk menganalisa, apa yang mau dianalisa? Bagian otak untuk berimajinasi mungkin? Atau belahan otak dengan saraf-saraf yang ngga connect sehingga loncatan-loncatan (impulse) listrik tidak terjadi sehingga analogi yang terjadi menjadi asal. Ahhh apa pula ini???!!! Saya menganalogikan NATO dengan bapak ibu polisi yang menengahi kejadian di kampung saya. Keduanya saya anggap mewakili pihak ‘berseragam’ sebagai jujugan (baca: tujuan) akhir setiap permasalahan yang terjadi, kecuali urusan kemunculan makhluk halus tak menapak tanah yah, itu larinya ke paranormal. Keduanya menjadi pilihan yang dirasa paling adil karena memiliki kekuatan hukum. NATO bereaksi terhadap Libya dengan dukungan UN untuk membantu warga negara Libya yang mulai terancam nyawa setiap malam oleh pemimpin mereka sendiri. Perlahan tapi pasti (layaknya SOP perang yang terdahulu), mau tidak mau, perang, bom, rudal, korban jiwa, dan kematian jadi alur pasti atas nama kemanusiaan. Tapi apa iya? Karena reaksi NATO yang ikut membalas gerakan Presiden Ghadafi juga menimbulkan korban rakyat jelata yang mungkin masih belum paham apa itu demokrasi. Coba saja dibayangkan, Ghadafi menimbulkan korban nyawa, begitu juga dengan NATO. Tidak satu, dua, atau tiga. Mungkin ribuan warga Libya. Lalu, bagaimana dengan isu ladang minyak di Libya yang sepertinya diperebutkan oleh seluruh negara-negara maju (anggota NATO) yang memang ‘miskin’ sumber daya alam ? Mungkin juga. Hey … business will be business. Tidak ada urusan dengan kemanusiaan, perdamaian, atau apapun dalihnya. Profit, profit, profit. Semua menjadi sah karena ada perlindungan hukum dan perundangan atas apa yang mereka lakukan. Perkara ada tunggangan politis, ekonomi, atau murni sosial kemanusiaan, hanya Tuhan dan mereka yang rempong yang tahu. Begitu juga dengan pilihan kantor Polsek untuk menyelesaikan permasalahan antar warga. Dirasa paling adil dan netral karena memang tidak ada celah mencari keuntungan materiil dari warga yang berseteru. Apalagi dengan alasan dan penyebab yang serba geje (baca: Gak Jelas). Tapi bukan juga berarti kepolisian kita sebegitu murninya (saya kira tidak perlu membahas beberapa kebobrokan aparat penegak hukum kita terkait urusan materiil). Hanya saja analogi pilihan pihak kantor polisi sebagai aparat berseragam untuk menyerahkan kembali ke warga untuk penyelesaian, saya angkat topi. Cukup bijaksana dan tidak terlalu memaksakan kehendak mereka sebagai aparat yang sok ‘berkuasa’ memutuskan salah dan benar. Sehingga, memang tidak ada pihak yang diuntungkan. Lalu, bagaimana dengan NATO ? Saya bukan pakar dan tidak hendak menganalisa bagaimana posisi mereka. Sekali lagi maaf jika saya terlalu memojokkan salah satu pihak tanpa mengupas kepantasan Ghadafi untuk digulingkan. Karena saya memang tidak memiliki kapabilitas tinggi menilai seorang Ghadafi. Entah pilihan yang dilakukan sekarang ini merupakan pilihan yang bijaksana bagi Ghadafi atau bagi rakyatnya atau bagi dunia. Satu yang pasti, selalu ada motif dan harapan disetiap perang, dan (perang) tidak akan pernah menghasilkan pemenang karena dari kedua belah pihak pasti muncul korban. Pemenang sesungguhnya adalah ketika korban nyawa yang ditimbulkan adalah seminimal mungkin dan memilih opsi penyelesaian sebijaksana mungkin. Atau kedua tetangga yang berseteru juga sedang menunggu kesempatan berikutnya untuk menyulut kalimat perang, saya juga kurang tahu. Seingat saya dari cerita papa atau mama, yang pasti pak RT belum mengadakan pertemuan kembali untuk mendamaikan kedua belah pihak. Wallahua’lam …
Tulisan kali ini tidak untuk menganalisa pilihan-pilihan yang dipilih oleh dunia atau pihak-pihak tertentu. Hanya sebuah pertanyaan atas ketidak pahaman saya akan sesuatu yang bernama perang (baca: seteru).