Huhuhuhu … seremmmm!!!!!!!!!! Hehehe …
Seharusnya siy sudah bukan topik pembicaraan tabu lagi yah, secara saya sendiri sudah 26 tahun hidup. Entah bagaimana orang tua-orang tua diluar sana tentang topik ini, bagaimana mengenalkan dan mendiskripsikan tentang sex ini ke anak keturunan mereka. Jujur saja, topik tentang sex ini tidak pernah dijelaskan oleh kedua orang tua saya secara gamblang, paling tidak kejelasan menurut versi saya, tapi hanya sekedar petuah-petuah untuk jaga diri di ‘negeri’ orang dan hati-hati berteman ketika saya pertama kali harus pindah keluar kota yang jaraknya sebenarnya tidak jauh, hanya 2 jam dari kota kelahiran saya, Kota Surabaya. Waktu itu yang ada dipikiran saya hanyalah bukankah setiap orang memang harus begitu? Kenapa papa atau mama harus berulang kali mengingatkan saya tentang 2 hal itu? Kalau kata anak ABG sekarang, papa mama saya lebay dikala itu. Tapi pada akhirnya setelah melewatkan waktu yang panjang mengenal dunia yang lebih dewasa, petuah-petuah papa mama sampai sekarang masih jadi pegangan saya kemanapun. Dan alhamdulillah saya selalu didukung dengan lingkungan yang positif dan ‘positif’.
Proses pendewasaan secara positif saya dapatkan dari era saya sebagai anak kuliahan yang harus saya tempuh dengan susah payah, merangkak dari anak sekolahan yang terbiasa dengan keberadaan papa, mama, dan kakak sebagai bodyguard ring 1 berubah menjadi seseorang yang ‘dipaksa’ harus bisa berdiri sendiri, menjaga diri sendiri, membuat benteng sendiri, dan menjalani pilihan-pilihan hidup sesuai kearifan pandangan mata sendiri. Papa, mama, dan kakak mendadak menjadi ring 5 dalam pembentukan benteng saya selama merantau. Di sisi lain, proses pendewasaan ‘positif’ juga saya dapatkan dari lingkungan-lingkungan baru, ‘bebas’, dan luas. Kenapa dengan tanda petik, karena proses itu saya lalui dengan beberapa kejadian yang tidak diinginkan dan tidak disangka-sangka kalau itu semua nyata. And I’m not living in a fairy tale. Tapi anehnya, justru pelajaran-pelajaran nyata itulah membuat saya menjadi pribadi yang lebih mantap dan mampu melangkah apapun bentuknya penghalang.
Ini yang saya maksud. Beberapa hari yang lalu secara tidak sengaja untuk pertama kalinya membaca majalah ini. Marie Claire magazine, edisi bulan maret 2011. Majalah ini terbit setiap bulan. Sebelumnya saya belum pernah membaca majalah ini tapi ada sebuah artikel yang menarik perhatian saya untuk membaca lebih lengkap. Judulnya, what’s your sexual score?. Paragraf pembuka artikel ini cukup membelalak mata yang mempertanyakan seberapa jauh kehidupan sex kita dan berapa skor kalau boleh kita sedikit menilai secara kuantitatif. Pada awalnya saya berharap ada keterangan-keterangan khusus pada skor tertentu yang bisa menggambarkan pandangan kita mengenai sex thing sehingga kita bisa menilai apakah pandangan kita sudah terlalu jauh atau masih cenderung bermain di area aman. Yes … saya sebagai bagian dari pendidikan keluarga ketimuran penilaian terkadang ada benarnya, untuk menilai seberapa jauh kita melangkah, meski pada akhirnya bukan preferensi saya juga untuk men-judge suatu hal. Saya tidak terbiasa atau membiasakan diri menilai sesuatu yang bukan kapasitas saya. Tapi sayangnya, bukan itu maksud dari artikel kali ini. Artikel 6 halaman ini bercerita mengenai pengalaman dan pandangan 6 wanita mengenai sex. Dan setiap cerita tergambarkan angka 1 hingga 10 yang saya tidak paham apa maksud dari angka-angka itu. Apakah angka 1 merupakan ‘nilai’ terpositif dan paling bisa memberikan pencerahan bagi pembacanya atau justru nilai sebaliknya? Tapi semakin saya membaca setiap pengalaman yang diceritakan cukup singkat disetiap halamannya, saya semakin memahami bukan penilaian itu maksud sebenarnya. Singkatnya, artikel 6 halaman itu menceritakan pengalaman-pengalaman sebagai berikut :
Wanita pertama yang menceritakan pengalamannya bahwa beliau memang melakukan hubungan sex sebelum menikah, lalu menggambarkan kontak fisik dalam hubungan ‘pengenalan’ (atau berpacaran) memang bisa membuat hubungan semakin hangat. Dan terbukti pada akhirnya beliau menikahi pria yang sewaktu itu menjadi pasangannya. Kemudian, wanita kedua menceritakan pengalaman beliau yang tersakiti oleh pasangannya lalu karena depresi melampiaskan kekesalan dengan berhubungan sex dengan banyak (lebih dari 2) pria. Wanita ketiga, keempat dan kelima lebih menilai kontak fisik semacam itu (sex) mampu memberikan sensasi dalam mengenal lawan jenis. Dan terakhir, wanita ini karena ‘keluguan’nya mengaku melakukan hubungan sex dengan pasangan ketika itu karena terpaksa, takut kehilangan pria tersebut.
Kesamaan dari keenam cerita itu hanya satu, mereka melakukan hubungan sex sebelum menikah. Pernah. Kali ini saya tidak hendak menghakimi pengalaman-pengalaman mereka baik dari segi nilai susila, kepatutan, atau dari segi agama karena saya tidak paham itu semua. Membaca artikel ini cukup menggelitik dan menampar saya sendiri yang ada kalanya melakukan kontak fisik dengan ‘teman’ dekat saya saat ini. Tidak, saya tidak melakukan hubungan suami istri sebelum menikah, dan saya bukan penganut ‘aliran’ tersebut. Berpegangan tangan, iya. Kadang kala saling berpelukan ketika saling membutuhkan, iya. Berciuman, iya. Tapi hanya ‘sekedar’ itu.
Ini yang mau coba saya katakan …
Segala macam bentuk apapun itu terkait dengan sex thing, itu adalah ‘pilihan’ dan limit (batas) yang harus masing-masing kita buat agar kita paham dengan konsekuensi yang timbul darinya. Kalau orang bilang hidup itu pilihan, kalau saya bilang hidup itu konsekuensi. Kalau sudah paham dengan konsekuensi setelah melakukan hubungan sex sebelum menikah dan masih ingin melakukan, maka pastikan tanpa ragu apa yang akan dilakukan selanjutnya. No doubt. Jangan sekali-kali melakukan tanpa bisa membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi setelahnya, karena sumber informasi sudah tersedia secara mudah. Sebuah kesalahan ketika pada akhirnya nanti jika terjadi suatu ‘kesalahan’ lalu menyalahkan takdir Tuhan atau menganggap sebagai jalanNya. Tidak adil untuk Sang Pencipta.
Saya akan dengan bangga mengatakan pada dunia, yess I’m limited!!!! Dan tidak berminat untuk mengakhiri keterbatasan saya tersebut dalam menjalin hubungan ‘perkenalan’ dengan lawan jenis. Secara tidak sadar, ternyata untuk hal begini dua petuah papa mama ketika pertama kali saya merantau (ternyata) menjadi ring 1 saya dalam melangkah. Ini barangkali yang mereka maksud dengan berhati-hati dalam berteman dan pandai-pandai menjaga diri. Mungkin saya terlalu kecil kala itu untuk memahami hal yang satu ini. Mungkin juga papa mama bermaksud membiarkan saya mengalami sendiri kejadian-kejadian semacam ini yang pada akhirnya memang terjadi meskipun bukan saya melainkan orang-orang disekitar saya yang mengalami (pengalaman ‘positif’). Mungkin juga papa mama masih bingung bagaimana cara yang tepat menjelaskan hal yang satu itu ke anak bungsunya. Dan pada akhirnya papa mama justru bertindak sebagai ring 5 atau ‘menarik’ diri dan menjadi pengamat dari jauh.
Saya bukan ahlinya soal beginian hihihi. Tapi satu yang selalu jadi pegangan saya, enough. Tidak bisa dipungkiri kepentingan sentuhan fisik apapun bentuknya adalah sebuah adiksi. Jadi pastikan ada limit yang jadi kesepakatan dua belah pihak dan katakan enough ketika salah satu pihak mulai melewati kesepakatan. Dan satu lagi, make your own limit. Limit saya adalah papa mama yang berarti juga limit Tuhan . Dan cukuplah tertib dengan batas itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dear Rika & friends ...